Sejarah Tari Golek Menak, Properti, hingga Keunikannya

Bru
Rabu, 27 Agustus 2025 | 11:24:42 WIB
sejarah Tari Golek Menak

Sejarah Tari Golek Menak merupakan bagian penting dari kekayaan budaya tradisional Indonesia, khususnya yang berasal dari Yogyakarta. 

Tarian ini pertama kali diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dengan gerakan-gerakannya yang diadaptasi dari pertunjukan Wayang Golek Menak. 

Nama tarian ini mencerminkan keseluruhan unsur yang membentuknya—mulai dari gerakan, alur cerita, kostum, hingga karakter yang ditampilkan—semuanya menunjukkan nilai seni yang tinggi dan khas.

Pertunjukan perdana tarian ini berlangsung pada tahun 1943, dalam rangka memperingati hari kelahiran pemimpin Yogyakarta saat itu. 

Namun, seiring dengan situasi politik yang tidak stabil di Indonesia, keberadaan tarian ini sempat meredup. Meski demikian, balai tari keraton tetap berupaya menjaga keberlanjutannya agar tidak hilang dari ingatan budaya.

Lebih dari empat dekade kemudian, tepatnya pada tahun 1988, Sri Sultan memberikan mandat kepada enam lembaga tari untuk menyempurnakan bentuk dan penyajian Tari Golek Menak. 

Upaya ini menjadi tonggak penting dalam pelestarian dan pengembangan tarian tersebut agar tetap relevan dan dikenal oleh generasi berikutnya.

Dengan memahami sejarah Tari Golek Menak secara menyeluruh, kita dapat lebih menghargai nilai artistik dan warisan budaya yang terkandung di dalamnya.

Sejarah Tari Golek Menak dan Proses Penyempurnaannya

Sejarah Tari Golek Menak bermula dari gagasan kreatif Sri Sultan Hamengkubuwono IX setelah menyaksikan pertunjukan Wayang Golek Menak oleh seorang dalang dari Kedu pada tahun 1941. 

Terinspirasi oleh pertunjukan tersebut dan kecintaannya terhadap budaya Wayang Orang, sang sultan mencetuskan ide untuk menciptakan sebuah tarian yang mengangkat kisah wayang tersebut ke dalam bentuk gerak. 

Tarian ini kemudian dikenal dengan nama Beksan Golek Menak atau Beksan Menak, yang berarti menarikan Wayang Golek Menak.

Untuk mewujudkan gagasan tersebut, Sri Sultan mengundang sejumlah ahli tari, termasuk K.R.T Purbaningrat sebagai pemimpin tim, dibantu oleh tokoh-tokoh seni lainnya seperti K.R.T Brongtodiningrat, Pangeran Suryo Brongto, dan beberapa seniman keraton. 

Proses penciptaan dan latihan berlangsung cukup lama, hingga akhirnya pertunjukan perdana digelar di Kraton Yogyakarta pada tahun 1943 sebagai bagian dari perayaan ulang tahun sang sultan.

Meski pementasan awal belum sempurna karena kostum masih dalam tahap uji coba, pertunjukan tersebut berhasil menampilkan tiga jenis karakter: tokoh puteri seperti Dewi Sudarawerti dan Dewi Sirtupelaeli, tokoh pria halus seperti Raden Maktal, serta tokoh laki-laki gagah seperti Prabu Dirgamaruta. 

Ketiga karakter ini ditampilkan dalam dua adegan perang, yaitu antara dua tokoh puteri dan antara Prabu Dirgamaruta melawan Raden Maktal.

Setelah melalui berbagai diskusi dan pertemuan antara sultan dan para seniman, dibentuklah tim khusus untuk menyempurnakan tarian ini. 

Tim tersebut terdiri dari enam lembaga seni: Siswo Among Beksa, Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja, Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), Mardawa Budaya, Paguyuban Surya Kencana, dan Institut Seni Indonesia (ISI). 

Keenam lembaga ini menyatakan kesediaannya untuk mengembangkan Tari Golek Menak secara lebih mendalam mulai 1 Juni 1988, masing-masing dengan pendekatan dan interpretasi yang berbeda.

Pagelaran pertama dilakukan oleh Siswo Among Beksa pada 2 Juli 1988, dipimpin oleh RM Dinusatama. 

Mereka menampilkan fragmen lakon Kelaswara dengan 12 tipe karakter, seperti tokoh-tokoh alus impur, gagah kalang kinantang, gagah bapang, raseksa, dan berbagai tokoh puteri. 

Bahasa yang digunakan adalah bahasa bagongan, dan kostum para penari mengikuti gaya Wayang Golek Menak Kayu, lengkap dengan lengan panjang dan teknik berkain yang disesuaikan dengan karakter masing-masing.

Pagelaran kedua digelar oleh Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. 

Mereka menyajikan versi baru dari tarian yang bersumber dari Golek Menak, dengan ragam gerak yang pernah dipelajari oleh Kuswaji Kawindrosusanto, kakak dari Bagong. 

Karakter yang ditampilkan antara lain puteri Cina, puteri luruh, Umarmaya, Umarmadi, serta kelompok gagah kinantang dalam tari Perabot Desa yang diiringi gendhing sesuai kebutuhan gerak.

Pagelaran ketiga oleh SMKI Yogyakarta dipimpin oleh Sunartama dan berlangsung pada 30 Juli 1988. Fokus utama mereka adalah pengembangan ragam gerak dan karakter dasar dari Golek Menak. 

Mereka juga memperhatikan gendhing pengiring agar karakter yang ditampilkan lebih kuat. Pagelaran ini berbentuk demonstrasi tanpa melibatkan kostum, lakon, tata rias, atau dialog.

Pagelaran keempat dilaksanakan oleh Mardawa Budaya pada 9 Agustus 1988, dipimpin oleh Raden Wedana Sasmita Mardawa. Mereka menampilkan fragmen singkat dengan lakon Kelaswara Palakrama dan menghadirkan 14 tipe karakter.

Pagelaran kelima oleh Surya Kencana berlangsung pada 15 Agustus 1988, dipimpin oleh Raden Mas Ywanjana. 

Mereka memilih bentuk demonstrasi dengan 16 tipe karakter, serta menggabungkan gerakan pencak kembang dan silat gaya Sumatera Barat yang telah disesuaikan dengan nuansa gerak Jawa.

Pagelaran terakhir dilakukan oleh ISI Yogyakarta pada 22 Agustus 1988, dipimpin oleh Bambang Prahendra Pujaswara. 

Mereka menampilkan 15 tipe karakter dan sebuah fragmen pendek berjudul Geger Mukadam dari Serat Rengganis. Fokus utama mereka adalah pada gerakan, iringan musik, tata rias, kostum, dan dialog. 

Gerakan pencak kembang dari Sumatera Barat juga dimasukkan, tidak hanya dalam adegan perang tetapi juga dalam ragam gerak. Bahasa yang digunakan dalam dialog adalah bahasa Jawa pewayangan.

Pada pertemuan tanggal 16 September 1988 di Anjungan Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan menyampaikan rasa bahagianya atas kontribusi keenam lembaga tari tersebut. 

Ia berharap proses penyempurnaan berlanjut dengan tahap kedua pada Maret 1989. Namun, sebelum sempat menyaksikan kelanjutan proyek tersebut, Sri Sultan wafat di Amerika Serikat pada 3 Oktober 1988.

Meski sang pencetus telah tiada, tim penyempurna tetap melanjutkan tugasnya. Pada 17 Maret 1989, mereka menggelar pertunjukan hasil penyempurnaan berupa demonstrasi pewayangan Golek Menak dan dramatari dengan lakon Kelaswara Palakrama, yang mengisahkan pernikahan antara Kelaswara dan Wong Agung Jayengrana. 

Tim ini bekerja berdasarkan arahan Sultan, meskipun keterbatasan anggaran membuat kostum yang digunakan masih berupa modifikasi dari kostum yang telah ada.

Dengan seluruh proses panjang tersebut, Tari Golek Menak menjadi bukti nyata dedikasi para seniman dan pemimpin budaya dalam menjaga warisan seni tradisional Yogyakarta.

Properti yang Digunakan

Dalam setiap pertunjukan seni gerak, baik yang bersifat tradisional maupun kontemporer, keberadaan perlengkapan pendukung menjadi elemen penting untuk menyempurnakan tampilan keseluruhan. 

Perlengkapan ini berfungsi memperkuat kesan visual dan makna dari tarian yang dibawakan, termasuk dalam pertunjukan Golek Menak. Berikut adalah berbagai perlengkapan yang digunakan dalam tarian tersebut.

1. Instrumen Musik  

Pertunjukan ini diiringi oleh gamelan dengan sistem nada pelog. Teknik memainkan kendang yang digunakan dikenal sebagai teknik batang, yang memiliki kemiripan dengan pola irama khas dari wilayah Sunda. 

Selain itu, terdapat alat musik tambahan seperti keprak dhodhogan atau krecek, yang lazim digunakan dalam pertunjukan Wayang Kulit untuk mempertegas ritme.

2. Pakaian Penari  

Busana yang dikenakan dalam tarian ini merujuk pada kostum yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Golek Menak Kayu. Penari, baik pria maupun wanita, mengenakan pakaian berlengan panjang. 

Selain itu, mereka juga memakai celana khusus yang disebut cindhe, serta kain panjang yang dikenakan dengan berbagai gaya seperti kampuhan, rampekan, cicingan, dan sampur atau selendang sebagai pelengkap.

3. Riasan Wajah  

Penampilan wajah para penari disesuaikan dengan karakter yang mereka perankan, mengikuti gaya riasan dalam pertunjukan wayang golek. 

Riasan yang digunakan cenderung tebal, bertujuan untuk memperjelas ekspresi dan memperkuat identitas tokoh yang dibawakan.

4. Perhiasan dan Hiasan Tambahan  

Penari juga mengenakan berbagai aksesoris, seperti hiasan kepala berbentuk bulu atau lancur yang melengkapi mahkota. Di bagian telinga, mereka memakai sumping sebagai ornamen. 

Aksesoris lainnya meliputi gelang, kalung bertingkat tiga, serta keris yang diselipkan di bagian depan kostum sebagai simbol kekuatan dan karakter.

Perlengkapan dalam tarian ini tidak muncul begitu saja, melainkan melalui proses panjang yang dimulai dari gagasan awal sang sultan hingga tahap penyempurnaan oleh tim khusus yang terdiri dari enam lembaga seni. 

Setelah melalui berbagai tahapan, akhirnya perlengkapan dan gerakan dalam tarian Golek Menak mencapai bentuk yang matang, meskipun sang pencipta tidak sempat menyaksikan hasil akhirnya.

Tarian ini berfungsi sebagai hiburan dan biasanya ditampilkan dalam berbagai acara penting di lingkungan Keraton Yogyakarta, seperti perayaan hari jadi kota, pertunjukan panggung, penyambutan tamu kehormatan, serta peringatan hari ulang tahun.

Keunikan dari Tari Golek Menak

Sebagaimana kekayaan budaya tradisional lainnya di Indonesia, Golek Menak memiliki ciri khas yang membedakannya dari bentuk tari lainnya. Keistimewaan tarian ini terlihat dari berbagai aspek berikut:

- Tarian ini lahir dari gagasan Sri Sultan Hamengkubuwono IX setelah beliau menyaksikan pertunjukan Wayang Golek Menak Kayu. Gagasan tersebut dimaksudkan sebagai wujud seni khas Yogyakarta yang mengandung nilai persatuan bangsa.

- Pertunjukannya dapat dibawakan secara individu maupun berkelompok, dengan jumlah penari dalam kelompok berkisar antara delapan hingga sepuluh orang.

- Baik pria maupun wanita dapat membawakan tarian ini, karena dalam cerita yang diangkat terdapat tokoh dari kedua jenis kelamin.

- Gerakan dalam tarian ini tergolong sederhana dan tidak terlalu rumit jika dibandingkan dengan tarian tradisional Jawa lainnya. Misalnya, tidak diperlukan gerakan tangan yang lentur seperti dalam tari Jaipong.

- Golek Menak merupakan hasil adaptasi dari gerakan boneka kayu yang dipadukan dengan elemen tari khas Yogyakarta. Hasil perpaduan ini menghasilkan gerakan kaki yang ringan dan pola lantai yang mudah diikuti.

- Terdapat pengaruh gerakan pencak silat dari Sumatera Barat yang dimasukkan ke dalam tarian ini. Melalui penggabungan tersebut, sang sultan ingin menyampaikan pesan tentang semangat kebersamaan dan kesatuan bangsa.

Cerita yang diangkat dalam tarian ini bukanlah kisah pewayangan yang biasa ditampilkan, melainkan sebuah kisah cinta segitiga yang jarang diangkat. Cerita tersebut melibatkan Prabu Jayengrana, penguasa Kerajaan Koparman, dan Kelaswara. 

Selain itu, terdapat pula tokoh puteri dari Kerajaan Kelan, yaitu Adaninggar dan Tartari Pura yang berasal dari Tiongkok.

Sebagai penutup, sejarah Tari Golek Menak mencerminkan perpaduan seni, budaya, dan filosofi yang diwariskan dengan penuh makna dari Keraton Yogyakarta untuk generasi masa kini.

Terkini

12 Contoh Bisnis Jasa yang Menghasilkan Keuntungan Tinggi

Jumat, 05 September 2025 | 21:07:23 WIB

Daftar Terbaik Mobil 2 Pintu Paling Direkomendasikan

Jumat, 05 September 2025 | 20:59:45 WIB

Inilah Besaran Gaji Pensiunan PNS 2025, Adakah Kenaikan?

Kamis, 04 September 2025 | 13:05:36 WIB

Begini Cara Mengatasi Hiperinflasi & Faktor Penyebabnya

Kamis, 04 September 2025 | 14:49:36 WIB

Refinancing Adalah: Definisi, Manfaat, dan Tips Melakukannya

Kamis, 04 September 2025 | 11:52:54 WIB