Batu Bara Bangkit di Tengah Perang Dagang, Jadi Pemenang Tak Terduga Akibat Kebijakan Tarif Trump

Selasa, 08 April 2025 | 08:07:51 WIB
Batu Bara Bangkit di Tengah Perang Dagang, Jadi Pemenang Tak Terduga Akibat Kebijakan Tarif Trump

JAKARTA - Harga batu bara dunia mencatat lonjakan mengejutkan pada awal April 2025, di tengah tekanan global akibat kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi sebagian besar sektor perdagangan global, batu bara justru muncul sebagai komoditas unggulan yang diuntungkan dari gejolak perang dagang yang terus memanas.

Mengacu pada data Refinitiv, harga batu bara pada 7 April 2025 tercatat naik 0,92% ke level US$98,9 per ton, dibandingkan harga pada 4 April yang berada di level US$98 per ton. Kenaikan ini memutus tren pelemahan selama tiga hari berturut-turut dan menjadi indikator bangkitnya permintaan batu bara di tengah kekhawatiran global.

Kondisi ini terjadi seiring dengan penerapan tarif tinggi oleh pemerintahan Trump terhadap hampir semua barang impor ke AS. Tarif tambahan sedikitnya 10% kini dikenakan terhadap berbagai produk, termasuk dari negara-negara Asia yang menjadi pusat manufaktur dunia.

Asia Alihkan Fokus ke Batu Bara Demi Efisiensi

Tarif baru tersebut menekan perusahaan-perusahaan di Asia untuk memangkas biaya produksi demi menjaga daya saing ekspor mereka. Salah satu strategi yang diambil adalah mengalihkan penggunaan energi ke batu bara, yang masih menjadi sumber pembangkit listrik termurah dan terbesar di kawasan.

“Batu bara menyumbang sekitar 56% dari total pasokan listrik di Asia sepanjang tahun 2024. Ini menjadikannya pilihan utama untuk memangkas biaya energi, terutama di saat tekanan tarif AS memuncak,” ujar seorang analis energi dari Hellenic Shipping News.

Kebijakan penghematan ini menjadi berkah tersendiri bagi para pedagang dan penambang batu bara. Dengan meningkatnya kebutuhan energi murah, permintaan terhadap batu bara diprediksi terus naik, meskipun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran terhadap peningkatan emisi karbon di kawasan.

Dilema Antara Efisiensi dan Emisi

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara di Asia mulai beralih ke gas alam sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan untuk menggantikan batu bara. Bahkan, pada tahun 2024, gas alam telah menyumbang sekitar 10% dari pasokan listrik regional. Namun, kondisi perang dagang saat ini memaksa utilitas kembali pada batu bara demi menjaga tarif listrik tetap rendah.

“Utilitas di Asia kini memprioritaskan biaya di atas emisi. Tujuan utamanya adalah membantu produsen lokal bertahan di tengah gelombang tarif Trump,” kata seorang ekonom energi dari Kpler, perusahaan intelijen perdagangan global.

Kembali maraknya pembakaran batu bara ini berpotensi menggagalkan upaya pengurangan emisi karbon yang sudah mulai dijalankan beberapa tahun terakhir. Di sisi lain, industri batu bara mendapatkan momentum baru untuk tumbuh.

Lonjakan Impor Batu Bara di Negara-Negara Asia

Laporan Kpler menyebutkan bahwa Asia kini menjadi konsumen batu bara dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Hampir seluruh pusat manufaktur utama di Asia mencatat peningkatan signifikan dalam impor batu bara sepanjang tahun 2024. Rinciannya sebagai berikut:

-China: naik 10%

-Vietnam: naik 28%

-Kamboja: naik 26%

-Filipina: naik 5%

-Malaysia: naik 3%

Kenaikan ini mengantarkan total impor batu bara di kawasan ke level tertinggi dalam sejarah, meskipun permintaan dari negara-negara non-Asia cenderung menurun. Konsentrasi permintaan di wilayah ini memberikan keuntungan strategis bagi eksportir batu bara, karena mereka dapat mengoptimalkan pengiriman ke pasar-pasar aktif dan terfokus.

“Kombinasi antara permintaan tinggi dan jumlah negara tujuan yang semakin menyempit membuat logistik distribusi lebih efisien dan menguntungkan bagi pelaku industri batu bara,” ujar seorang pelaku ekspor batu bara asal Indonesia.

Outlook 2025: Batu Bara Terus Menguat di Tengah Tekanan Global

Dengan tekanan biaya yang masih terus membayangi pabrik-pabrik Asia akibat tarif AS, penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik diperkirakan akan terus meningkat sepanjang tahun 2025. Hal ini turut berdampak pada prospek pengiriman batu bara yang lebih besar ke negara-negara konsumen utama di Asia.

“Meskipun lini produksi di Asia tengah berjuang untuk menjaga margin laba, pedagang batu bara tetap bisa mengharapkan pertumbuhan—baik dari sisi volume maupun margin keuntungan—seiring dengan meningkatnya kebutuhan listrik murah di kawasan,” ungkap analis pasar energi dari Refinitiv.

Efek domino dari kebijakan tarif Trump juga bisa berdampak jangka panjang terhadap komposisi bauran energi di Asia. Meski banyak negara telah berkomitmen pada transisi energi ramah lingkungan, kondisi ekonomi saat ini menempatkan efisiensi biaya sebagai prioritas utama.

Tantangan dan Peluang: Siapa Untung, Siapa Rugi?

Dalam konteks global, kebangkitan batu bara jelas menjadi ironi. Di satu sisi, industri batu bara mendapatkan angin segar untuk kembali tumbuh. Di sisi lain, target penurunan emisi karbon yang menjadi bagian dari komitmen iklim dunia semakin sulit tercapai.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar negara berkembang, termasuk di Asia Tenggara, masih mengandalkan batu bara sebagai solusi jangka pendek untuk masalah energi dan ekonomi.

Sementara itu, pengusaha batu bara di Indonesia sebagai salah satu eksportir terbesar di Asia, disebut-sebut bakal menikmati lonjakan permintaan ekspor ke negara-negara Asia lainnya, terutama China, Vietnam, dan Filipina. Proyeksi ini memberikan sentimen positif bagi saham-saham emiten batu bara nasional yang selama beberapa bulan sebelumnya tertekan oleh harga global yang cenderung fluktuatif.

Di tengah ketidakpastian global akibat kebijakan proteksionis yang diluncurkan oleh pemerintahan Trump, batu bara justru muncul sebagai pemenang tak terduga dalam perang dagang. Permintaan yang melonjak dari negara-negara Asia membuat harga batu bara bangkit, dan menempatkannya kembali sebagai komoditas vital dalam menjaga daya saing ekonomi regional.

Namun, keuntungan ekonomi ini datang dengan risiko lingkungan yang tinggi. Ketergantungan pada batu bara dapat menjadi bumerang bagi target-target iklim yang telah ditetapkan. Maka, tantangan ke depan adalah bagaimana negara-negara Asia bisa menyeimbangkan kebutuhan efisiensi ekonomi dengan komitmen terhadap energi bersih.

Terkini

12 Contoh Bisnis Jasa yang Menghasilkan Keuntungan Tinggi

Jumat, 05 September 2025 | 21:07:23 WIB

Daftar Terbaik Mobil 2 Pintu Paling Direkomendasikan

Jumat, 05 September 2025 | 20:59:45 WIB

Inilah Besaran Gaji Pensiunan PNS 2025, Adakah Kenaikan?

Kamis, 04 September 2025 | 13:05:36 WIB

Begini Cara Mengatasi Hiperinflasi & Faktor Penyebabnya

Kamis, 04 September 2025 | 14:49:36 WIB

Refinancing Adalah: Definisi, Manfaat, dan Tips Melakukannya

Kamis, 04 September 2025 | 11:52:54 WIB