JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga saat ini belum menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI). Meskipun telah dilakukan penggeledahan dan serangkaian proses penyidikan, lembaga antirasuah itu mengedepankan prinsip kehati-hatian agar setiap langkah penegakan hukum memiliki dasar bukti yang kuat.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, menjelaskan bahwa penanganan kasus tersebut masih dalam tahap penguatan bukti dan pendalaman peran para pihak. Menurutnya, prinsip kehati-hatian diterapkan secara konsisten sejak awal proses penyelidikan hingga penyidikan.
“Ya, karena prinsip kehati-hatian yang dilakukan mulai dari proses penerimaan pengaduan, penyelidikan, bahkan penyidikan,” ujar Tessa di Gedung Merah Putih KPK.
Ia menegaskan bahwa meskipun KPK telah melakukan tindakan pro justitia seperti penggeledahan, namun tidak serta-merta menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa bukti kuat.
“Di mana sudah ada upaya paksa atau pro justitia, maka KPK perlu berhati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka,” tuturnya.
Penetapan Tersangka Butuh Lebih dari Dua Alat Bukti
Tessa juga menyampaikan bahwa proses penetapan tersangka di KPK memerlukan lebih dari sekadar dua alat bukti. Bahkan, menurutnya, KPK kerap mengandalkan hingga empat alat bukti untuk memastikan kekuatan dakwaan di pengadilan.
“Proses penetapan tersangka itu memang memerlukan tidak hanya minimal dua alat bukti. Di KPK kita bisa empat alat bukti itu,” jelasnya.
Ia menambahkan, akurasi dalam penetapan tersangka menjadi kunci agar jaksa penuntut umum dan struktur internal KPK dapat meyakini bahwa perbuatan yang dilakukan benar-benar melanggar hukum.
“Jadi saya pikir akan ada waktunya, siapa pun yang memang berdasarkan alat bukti terbukti, akan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat,” tambah Tessa.
Modus: Dana CSR Disalurkan ke Yayasan Fiktif, Lalu Masuk Rekening Pribadi
Sementara itu, Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkap bahwa modus utama dalam dugaan korupsi dana CSR Bank Indonesia adalah dengan menggunakan kedok yayasan untuk menyalurkan dana.
Menurut Asep, dana CSR yang seharusnya digunakan untuk kegiatan sosial, dialihkan secara sistematis ke rekening pribadi para pelaku maupun keluarganya.
“Yang kami temukan selama ini adalah uang tersebut masuk ke rekening yayasan, kemudian ditransfer balik ke rekening pribadi,” ungkap Asep dalam keterangan terpisah.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa hal tersebut dilakukan karena aturan di Bank Indonesia hanya mengizinkan penyaluran dana CSR melalui lembaga berbadan hukum, bukan kepada individu.
“Dana itu juga dikirim ke rekening orang lain yang mewakili pelaku karena BI hanya memperbolehkan penyaluran CSR kepada yayasan, bukan perorangan,” jelasnya.
Modus ini diperparah dengan keberadaan yayasan yang sengaja dibentuk oleh pelaku untuk menampung dana CSR. Bahkan, dana yang masuk ke yayasan tersebut kemudian ditarik secara tunai dan digunakan untuk keperluan pribadi.
“Setelah itu, dia tarik tunai, diberikan kepada orang tertentu, lalu digunakan untuk membeli properti dan keperluan pribadi, bukan untuk kegiatan sosial,” tegas Asep.
Keterlibatan Oknum Legislator Komisi XI DPR RI
Dalam penyelidikan KPK, disebutkan bahwa beberapa pelaku dalam kasus ini memiliki keterkaitan dengan Komisi XI DPR RI, yang merupakan mitra kerja Bank Indonesia. Asep menyebut bahwa sejumlah nama yang disebut sebagai "Saudara S" dan "HG" turut membuat yayasan yang digunakan sebagai wadah penampungan dana CSR.
“Ini juga memang diberikan kepada Komisi XI, di mana Saudara S dan HG ada di situ ya, membuat yayasan. Melalui yayasan tersebutlah uang-uang itu dialirkan,” ujarnya.
Dana CSR tersebut semula digunakan untuk kegiatan sosial seperti pengadaan ambulans, pemberian beasiswa, dan pembangunan fasilitas umum. Namun dalam praktiknya, dana ini dimanipulasi untuk kepentingan pribadi.
“Keperluannya ada untuk pembelian ambulans, kemudian ada untuk beasiswa, ada untuk kegiatan pembangunan rutin, dan lain-lain. Pokoknya untuk kegiatan sosial,” jelas Asep.
Namun sayangnya, banyak dari kegiatan tersebut tidak pernah direalisasikan sesuai rencana.
KPK Pastikan Proses Penegakan Hukum Terus Berlanjut
KPK memastikan bahwa penyelidikan kasus ini tidak berhenti dan akan terus berlanjut sesuai prosedur hukum. Lembaga ini tetap berkomitmen untuk menindak pelaku yang terbukti menyalahgunakan dana publik, termasuk dana CSR yang seharusnya dimanfaatkan untuk masyarakat.
Dengan kerugian negara yang potensial dan praktik pencucian uang yang melibatkan pejabat dan anggota legislatif, kasus ini dipandang sebagai salah satu skandal serius yang bisa menjadi preseden penting dalam tata kelola CSR di lembaga negara.