JAKARTA - Dugaan kasus penipuan digital kembali mencuat di tengah maraknya layanan pinjaman online (pinjol) di Indonesia. Seorang warga melaporkan kejadian yang diduga merupakan bentuk penyalahgunaan data pribadi oleh layanan pinjol Adakami (AK), yang mengakibatkan pencairan dana pinjaman ke rekening atas nama orang lain tanpa sepengetahuan dan persetujuannya.
Kronologi kejadian bermula pada Rabu pagi, 23 April 2025, saat korban menerima pesan melalui aplikasi WhatsApp dari pihak Adakami. Dalam pesan tersebut, pihak AK menyampaikan bahwa korban mengalami keterlambatan pembayaran pinjaman yang sebelumnya telah dicairkan. Menyadari dirinya tidak pernah mengajukan pinjaman, korban pun langsung menghubungi customer service (CS) Adakami untuk meminta klarifikasi.
“Saya dihubungi oleh pihak Adakami via WhatsApp pagi itu. Mereka menginformasikan bahwa saya mengalami keterlambatan pembayaran pinjaman. Padahal, saya tidak pernah sekalipun mengajukan pinjaman di aplikasi tersebut,” ujar korban dalam pernyataannya.
Dalam komunikasi lebih lanjut, customer service Adakami mengonfirmasi bahwa benar telah terjadi pengajuan pinjaman atas nama korban pada tanggal 19 Maret 2025. Pinjaman tersebut diketahui telah disetujui dan dana sejumlah kurang lebih Rp5.000.000 telah dicairkan ke sebuah rekening di Bank OCBC NISP. Rekening penerima terdaftar atas nama Christini, bukan atas nama korban yang melaporkan kasus ini.
“Saya tidak pernah membuka rekening di Bank OCBC NISP. Nama yang menerima dana bukan saya, dan saya juga tidak pernah menerima dana tersebut,” tegas korban.
Dugaan Penipuan dan Penyalahgunaan Identitas
Kasus ini memperlihatkan adanya celah serius dalam sistem verifikasi identitas yang digunakan oleh penyelenggara pinjaman online. Dalam hal ini, data pribadi korban diduga digunakan oleh pihak lain untuk melakukan pengajuan pinjaman secara ilegal. Penggunaan nama dan identitas korban oleh pihak yang tidak bertanggung jawab berpotensi merugikan secara finansial dan mencemarkan reputasi.
Dugaan ini semakin kuat karena korban tidak memiliki akses atau kaitan dengan rekening penerima pencairan dana. Meski demikian, Adakami tetap mencatat tagihan pinjaman atas nama korban dan mengirimkan notifikasi keterlambatan pembayaran, yang tentu saja menjadi beban psikologis dan finansial bagi pihak yang tidak bersalah.
Perlindungan Konsumen dan Regulasi Pinjol
Kasus ini menjadi contoh nyata pentingnya pengawasan ketat terhadap aktivitas layanan keuangan digital, terutama dalam hal peminjaman online. Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebelumnya telah mengeluarkan berbagai regulasi yang mengharuskan penyelenggara pinjaman online untuk menerapkan prinsip Know Your Customer (KYC) yang ketat, termasuk verifikasi biometrik dan dokumen identitas yang sah.
Namun, dalam kasus ini, tampaknya prosedur tersebut tidak dijalankan dengan semestinya oleh pihak Adakami. Pencairan dana ke rekening atas nama lain yang tidak memiliki hubungan dengan pemilik data yang terdaftar menimbulkan pertanyaan besar terhadap validitas proses persetujuan pinjaman.
Pengamat teknologi keuangan, Dwi Nugroho, menyoroti pentingnya evaluasi sistem keamanan digital di era pinjaman online. “Ketika perusahaan gagal dalam menerapkan sistem verifikasi yang akurat, konsumen menjadi korban. Ini bukan hanya soal pencurian data, tapi juga soal integritas lembaga keuangan itu sendiri,” ujarnya.
Tuntutan Transparansi dan Investigasi
Korban menyatakan telah mengajukan keberatan resmi kepada pihak Adakami dan menuntut dilakukan investigasi menyeluruh. Ia juga berencana melaporkan kasus ini ke OJK dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
“Saya meminta pihak Adakami untuk segera menghapus semua catatan tagihan yang dikaitkan dengan nama saya, serta melakukan investigasi atas siapa yang sebenarnya menerima dana tersebut,” tegas korban.
Tak hanya itu, ia juga meminta agar pihak bank penerima dana, dalam hal ini Bank OCBC NISP, turut serta dalam menelusuri aliran dana yang dimaksud. Transparansi dari lembaga keuangan sangat dibutuhkan untuk mengungkap pihak yang bertanggung jawab dalam proses pencairan ilegal tersebut.
Perlunya Literasi Keuangan Digital
Kasus ini kembali menjadi alarm bagi masyarakat luas tentang pentingnya literasi digital dan kehati-hatian dalam menjaga data pribadi. Banyak kasus penyalahgunaan data terjadi karena lemahnya perlindungan informasi pribadi oleh individu maupun oleh penyedia layanan digital.
Kementerian Komunikasi dan Informatika sebelumnya telah mengimbau agar masyarakat tidak sembarangan mengunggah dokumen identitas ke platform tidak resmi, serta lebih selektif dalam memberikan izin akses aplikasi terhadap data di ponsel mereka. Di sisi lain, perusahaan teknologi keuangan harus memperkuat komitmen mereka terhadap keamanan data pengguna.
Seruan untuk Audit Menyeluruh Terhadap Pinjol
Lembaga-lembaga pinjaman online, termasuk yang telah terdaftar dan diawasi OJK, dituntut untuk lebih transparan dan akuntabel dalam melayani masyarakat. Masyarakat menantikan sikap tegas dari OJK terhadap pinjol yang terbukti lalai atau ceroboh dalam menjaga kepercayaan publik.
Menurut catatan BPKN, aduan terhadap pinjaman online menduduki peringkat tertinggi dalam kategori sengketa perlindungan konsumen digital dalam dua tahun terakhir. Hal ini menunjukkan perlunya tindakan cepat dan komprehensif dari regulator serta aparat penegak hukum untuk melindungi konsumen.
Harapan untuk Penyelesaian yang Adil
Korban berharap agar kasus ini tidak berhenti sebagai aduan administratif semata. Ia menegaskan keinginannya agar nama baiknya dipulihkan dan segala bentuk penagihan dihentikan. Ia juga mendesak pihak terkait agar menyelidiki lebih lanjut bagaimana data pribadinya bisa disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Saya berharap tidak ada lagi warga yang mengalami hal serupa. Ini bukan hanya soal uang, tapi soal rasa aman dan kepercayaan terhadap sistem,” tutupnya.
Dengan semakin maraknya kasus serupa, pemerintah diharapkan memperkuat pengawasan serta mempercepat implementasi sistem perlindungan data pribadi yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Masyarakat pun didorong untuk segera melaporkan bila mengalami kejadian serupa demi mencegah kerugian yang lebih besar.