JAKARTA — Kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump mulai menunjukkan dampak besar terhadap sektor industri olahraga global. Perusahaan-perusahaan raksasa seperti Adidas, Puma, dan Nike kini menjadi korban dari strategi proteksionis yang diterapkan AS. Saham ketiga perusahaan tersebut tercatat anjlok tajam hanya dalam hitungan jam setelah kebijakan diumumkan.
Kebijakan tersebut dianggap sebagai langkah berani Trump untuk mendorong relokasi produksi ke dalam negeri sekaligus menghimpun dana guna mendukung pemotongan pajak di dalam negeri. Namun, langkah itu justru menimbulkan gejolak ekonomi global, termasuk pada industri olahraga yang sangat bergantung pada rantai pasok internasional.
Nilai Saham Anjlok, Adidas dan Nike Kehilangan Miliaran Dolar
Mengutip laporan dari Marca, penurunan nilai saham terjadi secara drastis di bursa saham utama dunia. Adidas, yang tercatat di Bursa Efek Frankfurt, mengalami penurunan nilai saham hingga 10,3%, sementara Puma merosot lebih dalam hingga 10,6%. Tidak ketinggalan, Nike, raksasa asal AS yang sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek New York, juga mengalami penurunan sebesar 10%.
Ketiga perusahaan ini sangat terdampak lantaran sebagian besar produksi mereka dilakukan di kawasan Asia — wilayah yang kini terkena dampak langsung dari kebijakan tarif baru tersebut. Nike, misalnya, memproduksi sekitar 50% produknya di Asia, sementara Adidas melakukan 40% produksi di kawasan serupa.
“Tarif baru ini memicu tekanan besar terhadap rantai pasok global yang selama ini menopang industri olahraga,” tulis Marca.
Negara Asia Jadi Target Pajak Tinggi
Sejumlah negara yang selama ini menjadi basis produksi utama perusahaan olahraga kini dikenakan tarif tinggi untuk produk-produk yang diimpor ke Amerika Serikat. Kamboja dikenai tarif hingga 49%, Vietnam 46%, Thailand 36%, Tiongkok 34%, serta Indonesia dan Taiwan masing-masing 32%.
Kondisi ini menyebabkan perusahaan harus menanggung beban biaya yang jauh lebih tinggi untuk bisa tetap masuk ke pasar Amerika. Bahkan beberapa perusahaan diketahui telah mengalihkan produksi dari Tiongkok ke Vietnam, namun langkah ini dianggap tidak cukup untuk meredam efek jangka pendek.
Efek Domino: Inflasi dan Gangguan Produksi
Kebijakan Trump yang disebut-sebut bertujuan untuk mendorong kembalinya produksi ke dalam negeri, berpotensi menciptakan inflasi tinggi di Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena sulitnya merealokasi produksi dalam waktu singkat, mengingat kompleksitas rantai logistik dan manufaktur global yang sudah terbangun selama puluhan tahun.
"Tidak ada kemungkinan untuk merelokasi rantai produksi kecuali dalam jangka waktu yang sangat panjang karena kompleksitas rantai produksi dan logistik," tulis Marca.
Selain itu, gangguan pada rantai pasok juga dikhawatirkan akan menimbulkan lonjakan harga barang di pasar AS, yang akan dibebankan pada konsumen.
Industri Olahraga Paling Terglobalisasi
Industri olahraga global saat ini merupakan salah satu sektor yang paling terglobalisasi. Tidak hanya bergantung pada bahan mentah dan tenaga kerja dari berbagai negara, sektor ini juga terintegrasi dengan sektor teknologi, makanan, hiburan, dan bahkan energi.
Hal ini membuat kebijakan sepihak seperti tarif impor yang besar dapat memberikan efek riak (ripple effect) yang sangat luas. Bukan hanya perusahaan besar seperti Nike atau Adidas yang terdampak, tetapi juga jaringan usaha kecil menengah, mitra logistik, hingga pemasok bahan baku.
"Konsekuensi dari kebijakan ini belum terlihat seluruhnya, namun dampaknya sudah mulai terasa di berbagai lini," tulis laporan tersebut.
Ketidakpastian Jangka Panjang
Para analis memperkirakan bahwa jika kebijakan ini tidak segera dikaji ulang atau ditanggulangi dengan perjanjian dagang yang baru, industri olahraga dapat menghadapi tantangan jangka panjang yang signifikan. Tak hanya dalam bentuk kerugian finansial, tetapi juga dari sisi pemutusan hubungan kerja, pengurangan investasi di sektor manufaktur, serta gangguan terhadap inovasi produk.
Kondisi ini mendorong para pelaku industri untuk segera mencari strategi mitigasi yang lebih adaptif terhadap kebijakan proteksionis negara-negara besar seperti AS.