ESDM

Flores Diwacanakan Jadi Pulau Panas Bumi : Pemerintah Dorong Energi Geotermal, Uskup dan Warga Ajukan Penolakan

Flores Diwacanakan Jadi Pulau Panas Bumi : Pemerintah Dorong Energi Geotermal, Uskup dan Warga Ajukan Penolakan
Flores Diwacanakan Jadi Pulau Panas Bumi : Pemerintah Dorong Energi Geotermal, Uskup dan Warga Ajukan Penolakan

JAKARTA - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mewacanakan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai "Pulau Panas Bumi" atau Geothermal Island. Gagasan ini mencuat seiring besarnya potensi energi panas bumi yang terkandung di kawasan tersebut. Namun, wacana ini tidak sepenuhnya disambut positif. Sejumlah elemen masyarakat, termasuk tokoh agama Katolik, menyuarakan penolakan terhadap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang menjadi langkah konkret dari rencana tersebut.

Penolakan paling kuat datang dari enam Uskup yang berada di wilayah Provinsi Gerejawi Ende, termasuk Uskup Agung Ende, Mgr. Vincentius Sensi Potokota. Mereka meminta pemerintah untuk menghentikan sementara proyek PLTP di Flores dan Lembata, seraya menyerukan dialog terbuka dengan masyarakat terdampak.

Potensi Besar Energi Geotermal di Flores

Flores dikenal memiliki potensi panas bumi yang luar biasa, dengan 16 titik lokasi sumber energi geotermal yang telah teridentifikasi oleh Badan Geologi. Kementerian ESDM memperkirakan kapasitas panas bumi di pulau ini mencapai lebih dari 900 megawatt (MW). Potensi tersebut diyakini mampu memenuhi kebutuhan energi listrik tidak hanya untuk masyarakat lokal, tetapi juga menopang cadangan nasional dalam jangka panjang.

Wacana menjadikan Flores sebagai Geothermal Island dinilai sejalan dengan komitmen Indonesia dalam transisi energi bersih. Pemerintah menargetkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025, dan panas bumi diproyeksikan menjadi salah satu penyumbang terbesar dalam bauran energi tersebut.

“Flores adalah pulau yang sangat potensial untuk pengembangan panas bumi. Ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang kami untuk ketahanan energi nasional sekaligus memenuhi target penurunan emisi karbon,” ujar Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM, Harris Yahya, dalam sebuah pernyataan pada awal April 2025.

Penolakan Masyarakat dan Tokoh Agama

Namun, rencana besar pemerintah ini menghadapi tantangan serius. Di akhir Maret 2025, enam Uskup di wilayah Provinsi Gerejawi Ende secara resmi menyatakan penolakannya terhadap proyek PLTP yang tengah dikembangkan di beberapa titik di Flores dan Lembata. Penolakan ini disampaikan melalui surat pastoral yang dibacakan secara serentak di berbagai gereja Katolik.

Dalam surat tersebut, para Uskup menyuarakan keprihatinan terhadap dampak sosial dan ekologis yang mungkin ditimbulkan proyek panas bumi terhadap kehidupan masyarakat adat dan lingkungan alam sekitar. “Kami memohon agar proyek panas bumi di Flores dan Lembata dihentikan sementara. Kami menuntut pemerintah mengedepankan prinsip dialog, mendengarkan suara masyarakat, dan menjamin keadilan ekologis dalam setiap proyek pembangunan,” demikian kutipan surat pastoral para Uskup.

Menurut para pemuka agama, sejumlah masyarakat di lokasi proyek mengaku tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang risiko proyek, dan sebagian merasa dipaksa untuk menyetujui pembebasan lahan tanpa proses musyawarah yang adil. Proyek PLTP dianggap mengancam kelestarian hutan adat, sumber air bersih, dan bahkan situs-situs budaya lokal.

Proyek PLTP dan Dampaknya

Salah satu proyek PLTP yang menuai sorotan adalah pengembangan PLTP Ulumbu di Kabupaten Manggarai dan proyek eksplorasi PLTP di Lembata yang disebut-sebut berdampak langsung pada kawasan hutan lindung serta mata air yang menjadi sumber kehidupan warga.

Aktivis lingkungan dan tokoh adat juga angkat suara. Menurut mereka, pembangunan pembangkit listrik yang mengambil sumber daya dari perut bumi secara besar-besaran berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan yang tak dapat diperbaiki.

“Warga di sekitar lokasi proyek belum mendapatkan informasi memadai. Bahkan dalam beberapa kasus, mereka tidak tahu bahwa lahan mereka sudah masuk dalam rencana eksplorasi,” kata Yohanes Dula, aktivis dari Koalisi Masyarakat Adat Peduli Energi Bersih.

Pemerintah daerah dan kementerian ESDM sendiri berulang kali menyatakan bahwa semua tahapan proyek dilakukan sesuai prosedur dan telah melewati analisis dampak lingkungan (AMDAL). Mereka juga menyebut bahwa pengembangan PLTP tetap memperhatikan aspek sosial dan budaya masyarakat lokal.

Pemerintah Janji Akan Lakukan Evaluasi

Menanggapi gelombang penolakan dari masyarakat dan tokoh agama, Kementerian ESDM menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan proyek panas bumi di Flores dan Lembata. Harris Yahya menegaskan bahwa prinsip keberlanjutan dan partisipasi masyarakat menjadi pilar penting dalam setiap kebijakan energi. “Kami sangat menghormati aspirasi masyarakat dan tokoh agama. Evaluasi terhadap proyek-proyek yang ada akan dilakukan. Kami terbuka untuk berdialog demi mencari solusi terbaik,” ujar Harris.

Kementerian juga berjanji untuk meningkatkan transparansi dan pendekatan berbasis masyarakat dalam proyek-proyek panas bumi di Flores. Selain itu, ESDM mendorong pemda dan pelaksana proyek untuk memperkuat sosialisasi, memberikan informasi yang akurat, serta menjamin bahwa hak masyarakat adat tidak terabaikan.

Dilema Transisi Energi dan Hak Komunitas Lokal

Kasus Flores menunjukkan bahwa transisi energi menuju sumber terbarukan seperti panas bumi tidak serta-merta berjalan mulus. Di satu sisi, pemerintah mengejar target energi bersih untuk mengurangi emisi karbon, tetapi di sisi lain muncul dilema etika dan sosial karena proyek energi skala besar kerap berbenturan dengan hak masyarakat adat dan perlindungan lingkungan.

Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Retno Wulandari, menilai bahwa proyek energi bersih harus dibarengi dengan tata kelola yang inklusif. “Transisi energi bukan hanya soal mengganti sumber energi, tapi juga soal keadilan. Pemerintah harus memastikan bahwa proyek energi tidak menciptakan korban baru di tingkat lokal,” ujarnya dalam wawancara dengan media pekan lalu.

Wacana menjadikan Flores sebagai Geothermal Island mencerminkan ambisi besar Indonesia dalam mewujudkan kemandirian energi dan menjaga kelestarian lingkungan melalui pemanfaatan sumber daya terbarukan. Namun, upaya ini menghadapi tantangan sosial dan kultural yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Pemerintah didorong untuk menjadikan dialog sebagai jalan utama dalam menyelesaikan konflik, serta memastikan bahwa pembangunan infrastruktur energi tidak mengorbankan suara masyarakat adat, nilai-nilai lokal, dan kelestarian alam yang menjadi fondasi kehidupan di Flores dan Lembata.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index