JAKARTA - Pengelolaan energi nasional kini memasuki babak baru. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan pentingnya tata kelola sumur tua migas yang lebih aman, berkelanjutan, dan sesuai standar teknis. Melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2025, pemerintah memberikan tenggat waktu empat tahun bagi pengelola sumur tua minyak dan gas untuk melakukan pembenahan menyeluruh.
Langkah ini bukan sekadar regulasi administratif, tetapi menjadi bagian dari strategi nasional dalam memastikan produksi migas tetap berkontribusi terhadap kebutuhan energi sekaligus mengurangi risiko keselamatan.
Masa Transisi Menuju Standar Baru
Koordinator Pengawasan Eksploitasi Migas Ditjen Migas, Ma’ruf Afandi, menjelaskan bahwa periode empat tahun ini diposisikan sebagai masa transisi menuju penerapan good engineering and practice.
“Pengusahaan sumur minyak masyarakat ini memang berisiko, tapi diberi kesempatan selama empat tahun untuk perbaikan. Jadi ini bukan akhir, melainkan perjalanan yang harus ditempuh,” ujarnya dalam sosialisasi Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2025 di Kota Semarang, Rabu (17 September 2025).
Artinya, masyarakat yang selama ini terlibat dalam pengelolaan sumur tua tetap diberi ruang partisipasi, namun dengan catatan harus menyesuaikan diri terhadap standar teknis, kesehatan, dan keselamatan kerja yang berlaku.
Tragedi Cepu Jadi Titik Balik
Kebijakan ini tidak lahir tanpa sebab. Beberapa tahun terakhir, marak aktivitas pengeboran sumur tua yang dilakukan secara tradisional tanpa pengawasan memadai. Kondisi tersebut menimbulkan risiko besar, bahkan berujung pada tragedi.
Salah satu kasus yang paling mengguncang adalah kebakaran sumur minyak ilegal di Desa Karangrejo, Kecamatan Cepu, Blora, awal 2025. Peristiwa itu menewaskan warga dan menimbulkan kerugian materi yang signifikan.
“Peristiwa itu menjadi pengingat betapa pentingnya standar keselamatan. Karena itu, masyarakat tetap diberi ruang berpartisipasi, tapi harus punya pengetahuan dan mengikuti standar teknis yang ditetapkan,” tegas Afandi.
Dengan latar belakang itulah, Permen ESDM 14/2025 diterbitkan, bukan untuk mematikan aktivitas masyarakat, melainkan agar aktivitas tersebut lebih aman, produktif, dan ramah lingkungan.
Filosofi Utama Permen ESDM 14/2025
Dalam aturan tersebut, terdapat tiga filosofi utama yang menjadi landasan:
Perbaikan Tata Kelola – memastikan operasi sumur tua dilakukan dengan prosedur jelas, transparan, dan terukur.
Perlindungan Lingkungan – menekan risiko pencemaran akibat aktivitas pengeboran tradisional yang sering kali luput dari pengawasan.
Peningkatan Produksi – mengoptimalkan potensi sumur tua agar tetap mampu menyumbang minyak bagi kebutuhan nasional.
Afandi menegaskan bahwa kemitraan masyarakat dalam mengelola sumur tua bukan hanya soal izin beroperasi. Lebih dari itu, terdapat kewajiban untuk memenuhi aspek kesehatan, keselamatan kerja, serta perlindungan lingkungan (H3S).
“Jika dalam empat tahun ke depan standar kelayakan dan keselamatan tidak terpenuhi, izin operasional tidak akan diperpanjang,” tandasnya.
Implikasi bagi Produksi Migas Nasional
Pemerintah menyadari bahwa keberadaan sumur tua masih memiliki potensi untuk mendukung produksi minyak nasional. Di tengah menurunnya kapasitas sumur baru dan tantangan eksplorasi, sumur tua yang dikelola secara baik dapat memberi tambahan pasokan minyak sekaligus manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Namun, manfaat tersebut hanya akan berkelanjutan jika tata kelola dilakukan dengan benar. Risiko kecelakaan, kebakaran, maupun pencemaran lingkungan bisa menghapus seluruh keuntungan yang diperoleh. Karena itu, regulasi terbaru ini dipandang sebagai langkah kompromi: masyarakat tetap dilibatkan, namun dengan syarat ketat berbasis standar teknis.
Partisipasi Masyarakat dalam Energi Berkelanjutan
Keterlibatan masyarakat dalam pengusahaan sumur tua sejatinya memiliki nilai sosial dan ekonomi. Di sejumlah daerah, aktivitas ini membuka lapangan kerja dan menambah penghasilan keluarga. Namun tanpa kerangka regulasi yang jelas, aktivitas tersebut bisa berubah menjadi ancaman.
Dengan tenggat empat tahun, pemerintah ingin memberi kesempatan sekaligus tantangan bagi masyarakat: apakah mampu bertransformasi menuju pengelolaan energi yang lebih aman dan profesional.
Pemerintah juga menekankan pentingnya edukasi dan pendampingan. Data BPS dan pengalaman di lapangan menunjukkan, banyak pengelola sumur tua belum sepenuhnya memahami aspek teknis maupun regulasi migas. Karena itu, ke depan dibutuhkan sinergi antara pemerintah daerah, perusahaan migas, hingga lembaga pendidikan untuk memperkuat kapasitas masyarakat.
Kebijakan tenggat waktu empat tahun untuk perbaikan sumur tua migas menjadi penanda keseriusan pemerintah dalam menjaga keselamatan energi nasional. Tragedi Cepu menjadi pelajaran berharga bahwa tanpa standar dan pengawasan yang baik, aktivitas pengeboran dapat menelan korban jiwa dan kerugian besar.
Kini, arah kebijakan pemerintah jelas: produksi boleh terus berjalan, tapi dengan syarat keselamatan, tata kelola, dan perlindungan lingkungan yang ketat.
Jika masyarakat, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya dapat berjalan beriringan, sumur tua tidak hanya menjadi sumber minyak, tetapi juga bagian dari solusi menuju energi nasional yang aman, berkelanjutan, dan berpihak pada kepentingan publik.A