JAKARTA - Fenomena kontradiktif tengah melanda industri perhotelan di Cikarang, Jawa Barat. Di saat sektor pariwisata menunjukkan tren positif dengan meningkatnya jumlah wisatawan domestik maupun mancanegara, sejumlah hotel justru memilih menghentikan operasionalnya dan bahkan berencana menutup usaha.
Kondisi ini memicu kekhawatiran akan berlanjutnya tekanan ekonomi pada pelaku industri perhotelan, khususnya di kawasan industri seperti Cikarang.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat bahwa pada bulan Agustus 2025, sejumlah hotel di kawasan tersebut mulai menutup pintunya bagi tamu. Padahal, periode paruh kedua tahun ini biasanya menjadi masa panen bagi pelaku usaha perhotelan karena okupansi cenderung naik sejak Juli hingga Desember.
Tingkat Hunian Hotel Menurun di Tengah Lonjakan Wisata
Ketua Umum PHRI, Haryadi Sukamdani, menyampaikan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat hunian kamar hotel pada Agustus mengalami penurunan signifikan. Secara bulanan (month to month), okupansi turun 1,55 poin, sementara secara tahunan (year on year) anjlok 3,23 poin menjadi hanya 36,89%.
Ironisnya, tren ini terjadi di tengah peningkatan jumlah wisatawan. Data menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan domestik melonjak 19,71% yoy, mencapai 807,55 juta perjalanan. Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menyumbang hampir 47% dari total perjalanan tersebut.
Sementara itu, wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia juga menunjukkan peningkatan pesat. Sepanjang Januari hingga Agustus, jumlahnya telah mencapai 10,03 juta orang. Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata (Kemenpar) bahkan optimistis dapat memenuhi target kunjungan wisatawan asing tahun ini di kisaran 14,5 hingga 15 juta.
Namun, fakta bahwa okupansi hotel tetap menurun menunjukkan adanya masalah struktural yang lebih kompleks.
“Kami menduga (penurunan okupansi hotel) ini dipengaruhi daya beli yang sangat besar,” ujar Haryadi di Gedung Kementerian Pariwisata, Senin, 6 Oktober 2025.
Penurunan Daya Beli dan Perubahan Perilaku Bisnis
Haryadi menjelaskan bahwa menurunnya okupansi hotel tidak hanya disebabkan oleh turunnya minat menginap dari wisatawan, tetapi juga oleh faktor ekonomi yang lebih luas. Salah satu penyebabnya adalah menurunnya daya beli masyarakat, yang berdampak langsung pada pola konsumsi pariwisata, termasuk pilihan akomodasi.
Di sisi lain, perubahan strategi pengeluaran dari sektor industri manufaktur juga ikut memperparah kondisi. Banyak perusahaan mengurangi biaya perjalanan bisnis, termasuk penginapan bagi karyawan dan tamu mereka. Hal ini sangat mempengaruhi okupansi hotel di Cikarang yang mayoritas bergantung pada tamu korporat.
“Perlu diingat, Cikarang lokasinya sangat dekat dari Jakarta dan merupakan kawasan industri,” tambahnya.
Imbas dari kondisi tersebut, sejumlah pengusaha hotel tidak lagi mampu menanggung biaya operasional dan akhirnya memutuskan untuk menutup usaha atau menjual aset mereka.
Tekanan Lebih Besar di Jawa Barat
Data BPS menunjukkan tekanan terhadap industri perhotelan terjadi secara menyeluruh, terutama di Jawa Barat. Tingkat okupansi hotel berbintang di provinsi ini turun hampir 3,77 poin secara bulanan menjadi 45,75%, sementara hotel non-bintang mengalami penurunan hampir 1 poin ke angka 21,76%.
Secara keseluruhan, tingkat okupansi hotel berbintang selama periode Januari – Agustus tercatat 47,26%, sedangkan untuk hotel non-bintang hanya 24,75%.
Dari seluruh provinsi di Indonesia, hanya Bali yang mencatatkan tingkat hunian di atas 60% pada Agustus, yakni 69,54%. Data ini menunjukkan bahwa hanya destinasi wisata populer yang masih menjadi magnet utama wisatawan, sementara daerah dengan basis industri atau bukan destinasi utama pariwisata seperti Cikarang mengalami tekanan berat.
Proyeksi Akhir Tahun: Harapan Tertumpu pada Liburan
Meskipun kondisi saat ini cukup memprihatinkan, PHRI tetap optimistis akan adanya kenaikan okupansi hotel pada kuartal terakhir tahun ini, terutama saat libur Natal dan Tahun Baru. Target okupansi hotel sepanjang 2025 masih dipertahankan setara dengan tahun sebelumnya, yakni 52,63% untuk hotel berbintang dan 26,67% untuk hotel non-bintang.
Namun, Haryadi mengingatkan bahwa kenaikan tersebut kemungkinan besar hanya akan signifikan di kawasan wisata populer seperti Bali, Yogyakarta, Solo, dan Bandung. Sementara untuk daerah yang tidak termasuk dalam daftar destinasi utama wisatawan, lonjakan okupansi diperkirakan tidak akan terlalu signifikan.
“Kalau daerahnya tidak menjadi top of mind destinasi wisata masyarakat, kenaikan okupansi hotel tidak begitu besar,” ujarnya.
Tantangan Ke Depan: Transformasi Strategi Industri Perhotelan
Kondisi yang dihadapi oleh hotel-hotel di Cikarang menjadi cermin tantangan yang lebih besar dalam industri perhotelan Indonesia. Di tengah meningkatnya jumlah wisatawan, industri akomodasi harus menyesuaikan diri dengan perubahan perilaku konsumen, penurunan daya beli, hingga pergeseran kebutuhan pasar.
Salah satu strategi yang perlu dipertimbangkan adalah diversifikasi layanan dan segmen pasar. Hotel tidak lagi bisa hanya bergantung pada tamu korporat atau wisatawan domestik, tetapi juga perlu menyasar segmen lain seperti wisata medis, perjalanan keluarga, hingga akomodasi jangka panjang.
Selain itu, inovasi digital dan peningkatan kualitas layanan menjadi faktor penting dalam menarik minat tamu di tengah persaingan yang semakin ketat.
Penutup: Sinyal Peringatan bagi Sektor Pariwisata
Fenomena menurunnya okupansi hotel di Cikarang di tengah melonjaknya jumlah wisatawan memberikan sinyal penting bagi industri perhotelan dan pemerintah. Data ini menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah wisatawan tidak otomatis menjamin peningkatan pendapatan di sektor akomodasi.
Tanpa langkah adaptif dari pelaku industri dan dukungan kebijakan yang tepat dari pemerintah, ancaman tutupnya hotel-hotel di kawasan non-wisata utama bisa terus berlanjut, menimbulkan efek domino bagi perekonomian daerah dan nasional.
Dalam jangka panjang, transformasi strategi bisnis dan sinergi lintas sektor akan menjadi kunci agar industri perhotelan Indonesia tetap bertahan dan berkembang di tengah perubahan dinamika ekonomi dan pariwisata global.