JAKARTA - Pemerintah Indonesia kini mengambil langkah cepat untuk mengatasi persoalan sampah yang semakin mendesak di berbagai daerah. Melalui program Waste to Energy (WTE), sampah tidak lagi dipandang sebagai beban lingkungan, melainkan sumber energi alternatif yang bernilai ekonomi.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyampaikan bahwa proyek pengolahan sampah menjadi energi ini kini menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang tengah dipercepat pembangunannya. Sebanyak 33 kabupaten dan kota telah memasuki tahap verifikasi lapangan, dan dalam waktu dekat akan mulai proses pembangunan oleh PT Danantara Energi Nusantara, perusahaan pelaksana yang ditunjuk pemerintah.
“Presiden meminta agar pembangunan waste to energy ini dilakukan secara bertahap di 33 lokasi. Saat ini tim gabungan sudah melakukan verifikasi lapangan dan diserahkan ke Danantara. Sekarang sedang proses pembangunan,” kata Hanif usai Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara.
Menurut Hanif, percepatan ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 tentang Waste to Energy, yang menjadi payung hukum baru bagi sistem pengelolaan sampah berbasis energi di Indonesia.
326 Daerah Ditetapkan Darurat Sampah
Penerbitan Perpres 109/2025 juga menjadi dasar hukum penetapan 326 kabupaten/kota sebagai wilayah darurat sampah. Langkah ini memungkinkan daerah tersebut untuk segera mengakses berbagai sumber pendanaan — baik dari pemerintah pusat, swasta, maupun lembaga internasional — guna mempercepat pembangunan fasilitas pengolahan sampah.
“Dengan keluarnya Perpres 109, kami menetapkan 326 kabupaten/kota sebagai kabupaten darurat sampah. Artinya, mereka bisa mengakses pendanaan dari berbagai pihak untuk mempercepat pembangunan sistem pengolahan,” ujar Hanif.
Status darurat sampah tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga menjadi sinyal kuat bagi daerah agar menata ulang sistem persampahan mereka. Pemerintah menekankan bahwa daerah yang masih melakukan pembakaran terbuka (open burning) dan pembuangan sampah ilegal (illegal dumping) akan dikenai sanksi moral berupa penghapusan dari penilaian Adipura — penghargaan bagi kota dengan pengelolaan lingkungan terbaik.
“Selama masih ada kegiatan pembakaran dan illegal dumping, daerah tersebut tidak mungkin masuk penilaian Adipura. Mereka akan berstatus kota kotor,” tegas Hanif.
Langkah tegas ini diharapkan mendorong pemerintah daerah lebih disiplin dalam mengelola sampah, sekaligus menjadi instrumen moral untuk membangun kesadaran publik bahwa persoalan lingkungan harus ditangani secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Tiga Teknologi Pengolahan Sampah Dijalankan Paralel
Untuk mempercepat transformasi sistem pengelolaan sampah nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyiapkan tiga skema utama teknologi pengolahan, yang akan diterapkan sesuai karakteristik dan kapasitas daerah masing-masing.
Pertama adalah Waste to Energy (WTE) — sistem insinerasi berskala besar yang mengubah sampah menjadi energi listrik. Teknologi ini diutamakan untuk kota besar dengan volume sampah tinggi dan kebutuhan energi yang besar.
Kedua, Refuse Derived Fuel (RDF) — metode pengolahan yang mengubah sampah menjadi bahan bakar alternatif, terutama untuk industri semen dan pembangkit listrik. Sistem ini dinilai efisien bagi daerah dengan infrastruktur industri yang siap menerima bahan bakar substitusi.
Ketiga, TPS3R (Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, Recycle) — fasilitas berbasis masyarakat di tingkat kelurahan dan desa yang berfokus pada pengurangan sampah dari sumbernya. TPS3R mendorong masyarakat untuk memilah, mendaur ulang, dan mengolah kembali sampah agar memiliki nilai ekonomi.
“Beberapa daerah menggunakan sistem insinerasi besar, sebagian RDF, sebagian lagi melalui TPS3R. Semua metode itu kita jalankan paralel agar sesuai dengan karakteristik daerahnya,” jelas Hanif.
Sinergi Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat Jadi Kunci
Proyek Waste to Energy bukan sekadar proyek infrastruktur, tetapi juga bentuk transformasi paradigma pengelolaan sampah nasional. Pemerintah menargetkan agar seluruh daerah yang berstatus darurat sampah segera memiliki sistem pengolahan modern yang mampu mengurangi volume sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) hingga 60 persen.
Hanif menegaskan, keberhasilan program ini memerlukan kolaborasi lintas sektor — mulai dari pemerintah daerah, pelaku industri, hingga masyarakat. Keterlibatan swasta seperti PT Danantara Energi Nusantara menjadi bukti bahwa investasi di sektor pengolahan sampah kini semakin menarik dan strategis.
Sementara itu, partisipasi publik juga diharapkan semakin meningkat, terutama dalam hal pengurangan dan pemilahan sampah rumah tangga. Pemerintah menilai perubahan perilaku masyarakat merupakan fondasi utama agar sistem pengolahan modern ini dapat berjalan efektif.
Menuju Indonesia Bebas Darurat Sampah
Dengan lebih dari 300 daerah dalam status darurat, langkah percepatan proyek Waste to Energy menjadi kebutuhan mendesak. Proyek ini diharapkan tidak hanya menyelesaikan persoalan sampah yang menumpuk di kota-kota besar, tetapi juga menciptakan sumber energi baru yang berkelanjutan.
Selain berkontribusi pada penurunan emisi karbon, proyek ini juga menjadi bagian dari upaya Indonesia mencapai target net zero emission. Melalui pendekatan teknologi dan kolaborasi multi-pihak, pemerintah menegaskan komitmennya menjadikan sampah sebagai sumber daya baru yang ramah lingkungan dan bernilai ekonomi tinggi.
“Transformasi sistem pengelolaan sampah ini bukan sekadar proyek jangka pendek, tapi langkah besar menuju masa depan yang bersih, berkelanjutan, dan mandiri energi,” tutup Hanif.