JAKARTA - Sikap kehati-hatian kembali ditunjukkan oleh negara-negara produsen minyak dunia.
Di tengah meningkatnya indikasi surplus pasokan global, OPEC+ memilih mempertahankan strategi penahanan produksi minyak mentah pada awal 2026. Keputusan ini menegaskan bahwa stabilitas pasar menjadi prioritas utama organisasi, terutama ketika tekanan harga terus mengurangi margin negara-negara produsen.
Arab Saudi bersama sejumlah anggota OPEC lainnya menyampaikan bahwa jeda pasokan selama tiga bulan akan diberlakukan setelah rangkaian konferensi video pada Minggu. OPEC+ menegaskan bahwa keputusan ini diambil untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi melemahnya pasar secara musiman.
Penetapan Kebijakan Baru dan Mekanisme Peninjauan Kapasitas
Dalam keputusan terbarunya, OPEC+ tidak hanya mengumumkan jeda produksi, tetapi juga meratifikasi mekanisme baru untuk meninjau kapasitas produksi masing-masing anggota. Proses ini bersifat sensitif karena akan menjadi dasar penetapan kuota produksi pada 2027, sehingga akurasi data sangat penting dalam perumusan kebijakan.
Konsultan energi DeGolyer and MacNaughton, berbasis di Dallas, ditunjuk untuk melakukan sebagian besar penilaian teknis dalam proses ini. Evaluasi kapasitas jangka panjang tersebut dibutuhkan agar kuota produksi lebih selaras dengan kondisi riil masing-masing negara, serta memperkuat kredibilitas pemangkasan produksi di masa mendatang.
Analis Rystad Energy AS, Jorge Leon, mengatakan bahwa OPEC+ memilih untuk tidak mengambil langkah agresif dan tetap berada pada strategi yang telah berjalan. “Pesan mereka tegas, yakni stabilitas menjadi prioritas dibanding ambisi pada saat prospek pasar tengah merosot dengan cepat,” ujarnya seperti dikutip Bloomberg.
Harga Minyak Turun, Pasokan AS Melonjak
Sepanjang tahun berjalan, harga minyak berjangka telah merosot 15 persen dan kini berada di kisaran US$63 per barel di London. Tekanan harga ini dipicu oleh lonjakan pasokan dari Amerika Serikat yang berbarengan dengan peningkatan output dari OPEC+, sehingga laju produksi global melampaui pertumbuhan permintaan.
Badan Energi Internasional (EIA) memperkirakan surplus pasokan terbesar akan terjadi pada 2026. Sementara itu, Goldman Sachs dan JPMorgan menilai bahwa tren penurunan harga kemungkinan masih akan berlanjut bila tidak ada kejutan geopolitik atau pemangkasan produksi yang lebih dalam.
Jeda produksi ini memberi ruang bagi OPEC+ untuk menilai risiko geopolitik yang meningkat, termasuk ketegangan terbaru antara pemerintahan Presiden Donald Trump dan Venezuela. Pada Sabtu sebelumnya, Trump memperingatkan maskapai untuk menghindari wilayah udara negara tersebut, bagian dari kampanye tekanan terhadap dugaan perdagangan narkotika.
Di sisi lain, penurunan harga minyak juga terjadi bersamaan dengan dorongan Trump untuk menekan harga bahan bakar. Isu energi menjadi sangat sensitif dalam konteks politik domestik Amerika Serikat, terlebih menjelang masa pemilihan. Kunjungan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman ke Gedung Putih, serta pengesahan pembelian jet tempur F-35 dan chip kecerdasan buatan oleh kerajaan, turut menjadi sorotan dalam dinamika hubungan energi kedua negara.
Sejarah Produksi OPEC+ dan Tekanan Fiskal Arab Saudi
Delapan negara kunci OPEC+ sempat mengejutkan pasar ketika mereka mempercepat pemulihan produksi pada April lalu. Langkah tersebut dilihat sebagai strategi Riyadh untuk merebut kembali pangsa pasar dari produsen serpih AS, sekaligus memberi tekanan pada anggota yang tidak mematuhi kuota produksi.
Namun, melemahnya harga minyak setelah langkah tersebut justru menimbulkan tekanan fiskal pada Arab Saudi. Defisit anggaran negara itu melebar, dan sejumlah proyek strategis pun harus mengalami penyesuaian. Situasi ini menunjukkan bahwa kebijakan pemulihan produksi yang terlalu cepat dapat berisiko kontraproduktif terhadap kestabilan fiskal.
Hingga saat ini, OPEC+ telah memulihkan sekitar 70 persen dari dua lapisan pemangkasan produksi yang diberlakukan pada 2023. Masih tersisa sekitar 1,1 juta barel per hari yang belum dikembalikan ke pasar. Sementara itu, satu lapisan pemangkasan lainnya—yakni sekitar 2 juta barel per hari untuk 22 negara anggota—akan tetap diberlakukan hingga akhir 2026.
Kenaikan produksi bulanan kerap kali lebih kecil dari rencana karena sejumlah negara harus mengoreksi kelebihan produksi sebelumnya. Sebagian negara lain mengalami kendala teknis yang membuat peningkatan output sulit dicapai. Inilah yang membuat peninjauan kapasitas jangka panjang menjadi sangat penting dalam menjaga disiplin produksi.
Mengapa Peninjauan Kapasitas Produksi Sangat Penting?
Penetapan kapasitas yang lebih akurat akan membantu memastikan bahwa kuota produksi sesuai dengan kemampuan riil negara anggota. Hal ini diperlukan untuk mencegah ketidakseimbangan pasokan, serta memastikan pengendalian produksi dapat dilakukan secara lebih efektif.
Dengan pasar yang tengah mengalami tekanan harga dan kelebihan pasokan, langkah OPEC+ untuk berhati-hati dianggap wajar. Organisasi ini berupaya menyeimbangkan antara kebutuhan mempertahankan pendapatan bagi negara produsen, menjaga stabilitas harga global, serta mengatur dinamika pasar yang dapat berubah cepat akibat kondisi geopolitik.