Transisi Energi Jadi Strategi Hemat Devisa Nasional

Senin, 01 Desember 2025 | 11:26:42 WIB
Transisi Energi Jadi Strategi Hemat Devisa Nasional

JAKARTA - Isu penguatan ketahanan energi kembali menjadi sorotan nasional seiring tingginya beban impor energi yang terus menekan devisa negara. 

Dalam momentum itu, Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menegaskan urgensi percepatan transisi energi sebagai langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor, sekaligus memaksimalkan potensi energi yang sebenarnya melimpah.

Berbicara dalam forum Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP) 2025, Eddy menekankan bahwa persoalan energi Indonesia bukan pada minimnya sumber daya, melainkan pada belum optimalnya pemanfaatan energi terbarukan yang sebenarnya dapat menjadi solusi jangka panjang.

Paradoks Energi di Negeri Kaya Sumber Daya

Dalam paparannya, Eddy memulai dengan menyoroti apa yang ia sebut sebagai “energi paradoks”. Indonesia, kata dia, memiliki cadangan energi fosil seperti minyak, gas, dan batu bara dalam jumlah besar. Bahkan, produksi batu bara nasional dinilai mampu memenuhi kebutuhan hingga dua abad mendatang.

Namun realitasnya, ketergantungan pada impor masih sangat tinggi. Kondisi ini membebani neraca perdagangan dan menyedot devisa dalam jumlah signifikan setiap harinya.

“Kita mulainya dari rumah kita, dari home ground kita, yaitu Indonesia. Permasalahan terbesar di sektor energi kita hari ini adalah energi paradoks yang kita miliki,” ujar Eddy dalam keterangan tertulis, Minggu.

Potensi energi terbarukan Indonesia juga sangat besar—mulai dari tenaga surya sebesar 3.300 gigawatt, hingga potensi angin, air, arus laut, dan panas bumi. Namun seluruh potensi itu belum dimanfaatkan secara optimal.

Impor Energi Masih Menguras Devisa Negara

Di tengah limpahan sumber daya, Indonesia masih mengimpor energi dalam jumlah besar. Eddy mencontohkan, impor minyak mentah saja mencapai 1 juta barel per hari.

Dengan harga rata-rata 70 dolar AS per barel, Indonesia harus mengeluarkan setidaknya 70 juta dolar AS setiap hari hanya untuk impor minyak.

“Hari ini kita impor 1 juta barel minyak mentah per hari. Dengan harga sekitar 70 dollar AS per barel, berarti 70 juta dollar per hari kita keluarkan untuk impor BBM,” jelas Eddy.

Tak hanya minyak mentah, Indonesia masih mengimpor LPG, minyak tanah, dan solar, yang semakin memperbesar kebutuhan devisa untuk energi. Menurut Eddy, kondisi ini merupakan salah satu tantangan terbesar sektor energi nasional.

Karena itu, percepatan transisi energi bukan lagi sekadar agenda lingkungan, melainkan kebutuhan mendesak untuk memperkuat ekonomi nasional.

Transisi Energi sebagai Jalan Keluar

Eddy menegaskan bahwa solusi paling masuk akal untuk keluar dari energi paradoks adalah mengoptimalkan energi terbarukan. Langkah ini memungkinkan Indonesia mengurangi impor energi yang mahal, sekaligus menghadirkan energi bersih yang lebih ramah lingkungan.

“Dengan mengoptimalkan energi terbarukan, kita bisa mengurangi impor, menghemat devisa, dan menghasilkan energi yang bersih dan hijau,” katanya.

Ia juga menekankan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah berulang kali menegaskan komitmennya untuk mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan. Komitmen tersebut dituangkan dalam strategi, program, dan arah kebijakan melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Meski demikian, Eddy mengakui bahwa implementasi energi terbarukan menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah capacity factor pembangkit tenaga surya yang hanya berada di angka 25–30 persen karena tidak beroperasi di malam hari atau saat cuaca mendung.

Tantangan lain adalah harga baterai skala besar yang masih mahal, sehingga integrasi sistem dengan PLTS belum dapat menjadi solusi yang sepenuhnya efisien.

Desakan Mengurangi Emisi dan Ketergantungan Bahan Bakar Fosil

Transisi energi dinilai penting bukan hanya untuk menghemat devisa, tetapi juga menekan emisi karbon dari sektor energi. Eddy menjelaskan bahwa pembangkit berbahan bakar batu bara dan diesel masih menyumbang sekitar 60 persen kapasitas pembangkit nasional.

Dengan tingginya emisi dari sektor tersebut, percepatan pengurangan ketergantungan pada energi fosil menjadi prioritas. Eddy menilai bahwa percepatan transisi energi akan membawa Indonesia menuju sistem energi yang lebih aman, bersih, dan stabil di masa depan.

Dalam sesi tersebut, Eddy tampil bersama sejumlah tokoh penting lain seperti Ketua Umum Kadin Anindya Novyan Bakrie, Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Mada Ayu Habsari, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Yusra Khan, FCPI Climate Fellow Adhityani Putri, serta Chief Experiment Officer Think Policy Andhyta Firselly Utami.

Diskusi yang berlangsung menegaskan bahwa sektor energi tengah berada pada fase transisi besar, dan keberhasilan Indonesia dalam mengelolanya akan sangat menentukan posisi ekonomi serta ketahanan energinya dalam jangka panjang.

Terkini