Medsos

Pakar Ingatkan Bahaya Radikalisme di Tengah Dinamika Medsos

Pakar Ingatkan Bahaya Radikalisme di Tengah Dinamika Medsos
Pakar Ingatkan Bahaya Radikalisme di Tengah Dinamika Medsos

JAKARTA - Media sosial kini tak sekadar menjadi tempat berbagi informasi, melainkan telah menjelma menjadi ruang publik baru yang sangat berpengaruh terhadap dinamika sosial dan politik. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai gerakan digital seperti Peringatan Darurat, Indonesia Gelap, hingga 17+8 yang menjadi bukti nyata dari kekuatan partisipasi publik di ranah maya.

Menurut Haryo Moerdaning Putro, pakar strategi kampanye digital, fenomena ini harus dipahami secara jernih oleh semua pihak. Ia menilai bahwa gerakan kritis yang muncul di media sosial sejatinya adalah cerminan keresahan masyarakat atas kebijakan yang belum memenuhi harapan mereka.

“Media sosial melahirkan demokratisasi narasi dan membuka ruang partisipasi publik yang belum pernah ada sebelumnya. Juga menjadi tempat lahirnya gerakan massa di ranah digital. Hal ini tentu memiliki banyak dampak positif,” ujarnya.

Potensi Positif dan Bahaya di Balik Aktivisme Digital

Partisipasi publik di media sosial mencerminkan semangat demokrasi dan keterlibatan warga negara dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Namun, Haryo mengingatkan bahwa di balik dinamika positif tersebut, terdapat potensi bahaya yang tidak bisa diabaikan.

“Dari hasil social media listening maupun riset yang kami lakukan, tak bisa dipungkiri adanya potensi ancaman dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab dengan ideologi radikal yang justru memanfaatkan gerakan rakyat yang murni sebagai Kuda Troya,” tandasnya.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana kelompok berkepentingan bisa menyusup ke dalam gerakan murni masyarakat demi memutarbalikkan agenda atau bahkan menciptakan instabilitas sosial-politik.

Di Balik Algoritma dan Mesin Opini Publik

Haryo juga menekankan bahwa apa yang terlihat di permukaan media sosial hanyalah sebagian kecil dari ekosistem digital yang sebenarnya. 

Di balik setiap unggahan terdapat kekuatan besar yang mempengaruhi penyebaran informasi, mulai dari algoritma platform, kreator konten, influencer besar dan mikro, clipper, homeless media, hingga buzzer dan cyber army — baik yang organik maupun berbasis mesin.

“Jika semua elemen itu dijahit dengan tepat, maka bisa digunakan untuk mengendalikan tren di dunia digital, persepsi netizen, dan pada akhirnya diskursus di tengah masyarakat secara umum,” jelasnya.

Menurut Haryo, kekuatan ini bisa menjadi kekuatan positif jika dikelola dengan baik. Namun, ia juga memperingatkan, “Akan sangat berbahaya jika kekuatan ini justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak dengan ideologi radikal.”

Pentingnya Kewaspadaan dari Semua Pihak

Dalam kondisi seperti ini, Haryo menilai bahwa kewaspadaan adalah kunci. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat — mulai dari penggerak gerakan massa, pemerintah, aparat penegak hukum, hingga netizen — untuk melihat situasi dengan lebih cermat.

“Gerakan massa yang kritis terhadap pemerintah harus lebih waspada. Jangan sampai gerakan yang murni berlandaskan kepedulian terhadap bangsa dibelokkan oleh pihak tidak bertanggung jawab untuk menciptakan situasi sosial-politik yang tidak kondusif,” ujarnya.

Pemerintah dan aparat pun, lanjutnya, perlu meningkatkan kapasitas dalam mendeteksi dan memilah informasi di media sosial. “Tidak semua gerakan yang kritis di social media itu ditunggangi, namun di sisi lain tidak semuanya juga murni,” paparnya.

Menjaga Media Sosial sebagai “Balai Warga” Digital

Terlepas dari segala potensi ancaman, Haryo berpendapat bahwa media sosial tetap harus dirawat sebagai ruang demokrasi digital. Ia mengibaratkan media sosial sebagai “balai warga” yang idealnya menjadi tempat bertemunya berbagai aspirasi secara sehat dan konstruktif.

Untuk mencapai tujuan tersebut, edukasi literasi digital kepada masyarakat perlu diperkuat. Kolaborasi antara pemerintah, aparat penegak hukum, pemilik platform, akademisi, komunitas digital, dan netizen menjadi penting agar media sosial tidak berubah menjadi lahan subur bagi penyebaran paham radikal.

“Tujuannya agar media sosial dapat berfungsi optimal sebagai ruang demokrasi digital, alih-alih dibajak menjadi pabrik konten radikal dan tempat tumbuhnya paham radikalisme,” tegasnya.

Komunikasi Publik yang Efektif untuk Menangkal Radikalisme

Haryo juga menyoroti pentingnya komunikasi publik yang efektif dari pemerintah. Ia menilai komunikasi yang buruk justru akan memperbesar celah bagi aktor jahat untuk melakukan fabrikasi isu dan memanfaatkan ketidakpuasan publik.

“Upaya ini juga harus melibatkan para perwakilan platform global yang ada di Indonesia, bagaimana agar konten radikalisme bisa ditindak tegas tanpa mencederai kebebasan berekspresi,” katanya lagi.

Media Sosial: Pedang Bermata Dua yang Perlu Digenggam Bersama

Haryo menutup penjelasannya dengan peringatan bahwa dinamika media sosial bersifat multidimensi dan dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menjadi alat penting bagi demokratisasi informasi dan keterlibatan publik. Namun di sisi lain, ia juga bisa dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk menyebarkan kebencian, memecah belah bangsa, bahkan merusak demokrasi.

“Adalah tugas kita semua untuk menggenggam pedang tersebut secara bersama-sama untuk melawan para pihak yang justru memanfaatkannya untuk memecah belah bangsa dan merusak demokrasi kita,” tuturnya.

Peran media sosial dalam demokrasi digital tak dapat dipungkiri semakin besar dan signifikan. Namun, kekuatan tersebut harus dikelola dengan bijak. Kritis terhadap pemerintah adalah hak warga negara, tetapi kewaspadaan terhadap penyusupan ideologi radikal tidak kalah pentingnya. Hanya dengan sinergi semua pihak — masyarakat, pemerintah, aparat, dan penyedia platform — media sosial bisa tetap menjadi ruang publik yang sehat, inklusif, dan bebas dari ancaman ekstremisme.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index