Rupiah

Rupiah Melemah Jelang Rilis Inflasi AS, BI Pertahankan Suku Bunga

Rupiah Melemah Jelang Rilis Inflasi AS, BI Pertahankan Suku Bunga
Rupiah Melemah Jelang Rilis Inflasi AS, BI Pertahankan Suku Bunga

JAKARTA - Nilai tukar rupiah kembali tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis, 23 Oktober 2025. Pelemahan ini mencerminkan sikap hati-hati investor menjelang rilis data inflasi AS yang diperkirakan akan memengaruhi arah kebijakan moneter global.

Berdasarkan data pasar spot, rupiah turun 35 poin atau 0,21% menjadi Rp16.620 per dolar AS, dari posisi sebelumnya di Rp16.585 per dolar AS.

Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menjelaskan bahwa pelemahan ini bersifat terbatas karena Bank Indonesia (BI) tetap mempertahankan suku bunga acuan atau BI-Rate. Keputusan tersebut menahan volatilitas nilai tukar meskipun tekanan eksternal meningkat.

“Dampaknya bagi rupiah dalam jangka pendek adalah stabilisasi dengan volatilitas yang lebih kecil. BI-Rate yang tetap, intervensi valas yang aktif, serta dukungan pasokan dari eksportir cenderung menahan pelemahan rupiah dan membuka peluang penguatan tipis seperti yang kita lihat kemarin,” ujar Josua.

BI Tahan Suku Bunga, Prioritaskan Stabilitas di Tengah Ketidakpastian

Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 21–22 Oktober 2025, otoritas moneter memutuskan mempertahankan BI-Rate di level 4,75%, suku bunga deposit facility 3,75%, dan lending facility 5,5%.

Josua menjelaskan, keputusan ini mempertimbangkan dua aspek utama: stabilitas nilai tukar dan arah inflasi. Dari sisi makro, inflasi 2025–2026 diperkirakan tetap dalam sasaran 2,5% ±1%, sehingga ruang pelonggaran masih ada, tetapi stabilitas rupiah menjadi prioritas di tengah ketidakpastian global.

Sementara dari sisi mikro, transmisi kebijakan moneter masih lambat. Meskipun BI telah menurunkan suku bunga 150 basis poin sejak September 2024, penyesuaian suku bunga perbankan belum seimbang. Data menunjukkan suku bunga deposito satu bulan baru turun ke 4,52%, sedangkan suku bunga kredit agregat berada di 9,05%.

“Porsi deposito berimbal hasil khusus pada nasabah besar masih tinggi, sehingga transmisi kebijakan moneter belum optimal,” kata Josua.

Sebagai langkah antisipatif, BI memilih menunggu sambil memperkuat transmisi melalui operasi moneter dan kebijakan makroprudensial daripada memangkas suku bunga lebih jauh.

Likuiditas Didorong, SRBI Dikurangi untuk Stabilkan Pasar Uang

Untuk memperkuat likuiditas rupiah di pasar domestik, Bank Indonesia kembali mengurangi peredaran Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Hingga 21 Oktober 2025, total SRBI tercatat sebesar Rp707,05 triliun, turun signifikan dari posisi awal tahun sebesar Rp916,97 triliun.

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, langkah ini merupakan bagian dari strategi ekspansi moneter. “Ekspansi likuiditas rupiah juga ditempuh melalui penurunan posisi instrumen moneter SRBI, dari Rp916,97 triliun pada awal tahun 2025 menjadi Rp707,05 triliun pada 21 Oktober 2025,” ujarnya.

Selain itu, BI turut membeli Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp268,36 triliun, termasuk melalui program debt switching dengan pemerintah senilai Rp199,45 triliun.

Kebijakan ini diharapkan membantu menjaga stabilitas rupiah sekaligus memberikan ruang likuiditas yang lebih besar bagi sektor keuangan dan dunia usaha.

Insentif Likuiditas dan Fokus Pembiayaan Produktif

Dalam upaya mempercepat transmisi kebijakan, BI juga memperkenalkan insentif Likuiditas Makroprudensial (LM) berbasis kinerja dan orientasi ke depan yang efektif berlaku mulai 1 Desember 2025.

Skema ini memberikan ruang insentif likuiditas hingga 5,5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK), terdiri atas 5% untuk percepatan kredit ke sektor prioritas dan 0,5% untuk kecepatan penyesuaian suku bunga kredit baru mengikuti arah BI-Rate.

Adapun sektor-sektor prioritas yang menjadi fokus BI mencakup:

Pertanian dan industri hilirisasi

Jasa dan ekonomi kreatif

Konstruksi dan perumahan

UMKM serta pembiayaan hijau

Menurut Josua, langkah ini merupakan bentuk kebijakan seimbang antara penurunan suku bunga kredit dan stabilitas nilai tukar rupiah. “Kebijakan ini mempercepat turunnya harga kredit tanpa mengorbankan stabilitas rupiah,” tuturnya.

SRBI dan Strategi Pendalaman Pasar Keuangan

Sebagai catatan, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) pertama kali diterbitkan pada September 2023 sebagai instrumen operasi moneter pro-pasar untuk memperdalam pasar uang domestik.

SRBI diterbitkan tanpa warkat, berdenominasi rupiah, dengan tenor 1 minggu hingga 12 bulan, dan menggunakan underlying asset berupa SBN milik BI. Instrumen ini dapat diperdagangkan di pasar sekunder dan dimiliki oleh pihak non-bank, baik penduduk maupun bukan penduduk.

Melalui SRBI, BI berupaya menarik masuk investasi portofolio asing ke pasar uang rupiah, sekaligus menstabilkan nilai tukar di tengah tekanan eksternal yang meningkat.

Kesimpulan: Ruang Penguatan Terbuka, tapi Tetap Terbatas

Pelemahan rupiah pada perdagangan 23 Oktober 2025 menunjukkan bahwa ketidakpastian global masih menjadi faktor utama yang menekan mata uang emerging markets, termasuk Indonesia.

Namun, langkah Bank Indonesia yang konsisten menjaga kebijakan suku bunga, intervensi valas aktif, serta penguatan likuiditas domestik menunjukkan komitmen kuat untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional.

Jika arus modal asing kembali masuk dan inflasi global mereda, ruang penguatan rupiah tetap terbuka, meskipun diperkirakan akan berlangsung secara bertahap.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index