Pertambangan

Pertambangan Jadi Pilar Strategis Menuju Indonesia Emas 2045

Pertambangan Jadi Pilar Strategis Menuju Indonesia Emas 2045
Pertambangan Jadi Pilar Strategis Menuju Indonesia Emas 2045

JAKARTA - Indonesia tengah menapaki fase penting menuju visi Indonesia Emas 2045. 

Sektor pertambangan disebut sebagai tulang punggung yang menopang transformasi ekonomi dan perkembangan teknologi nasional.

Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menekankan bahwa komoditas mineral seperti emas, perak, nikel, dan tembaga menjadi fondasi strategis Indonesia hingga 100 tahun sejak kemerdekaan. Namun, ia menegaskan pentingnya pengelolaan bijak agar cadangan tetap terjaga.

“Kita memiliki banyak mineral kritis, tetapi tetap terbatas. Eksplorasi yang tepat dan bijak menjadi kunci untuk memastikan umur cadangannya panjang,” ujar Hendra.

Eksplorasi Jadi Kunci Cadangan Jangka Panjang

Hendra menjelaskan banyak wilayah tambang di Indonesia selama ini hanya mengandalkan deposit berkadar tinggi (high grade). Tanpa eksplorasi aktif, umur cadangan akan cepat menurun.

Eksplorasi bukan hanya kewajiban pemegang izin tambang, tetapi juga indikator penting ketika mereka mengajukan rencana kerja serta anggaran tahunan. Investor baru, khususnya junior mining companies, pun memiliki peluang besar di sektor hulu.

Dalam konteks global, Hendra menyoroti tembaga sebagai komoditas strategis yang berpotensi mengalami kelangkaan pada 2035. “Mengembangkan tambang tembaga butuh belasan tahun, bukan hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Momennya harus sekarang,” katanya.

Tantangan Teknologi dan Hilirisasi

Hendra mengakui adanya masalah struktural dalam industri pertambangan Indonesia, terutama minimnya pendanaan untuk research & development (R&D). Secara nasional, alokasi R&D Indonesia berada pada level terendah di kawasan Asia.

Di sektor pertambangan, lemahnya investasi teknologi membuat Indonesia bergantung pada teknologi asing, contohnya dalam pengolahan nikel. “Kalau tidak ada Tiongkok, kita tidak bisa memproses nikel sampai teroperasi. Ini menunjukkan teknologi hilir kita masih tertinggal,” jelasnya.

Hendra mencontohkan sektor batu bara. Pemegang PKP2B dahulu dikenai royalti 13,5 persen, dengan 6,5 persen dirancang khusus untuk dana pengembangan batu bara termasuk teknologi bersih. Namun, dana tersebut masuk ke kas negara untuk operasional, sehingga pengembangan teknologi domestik tidak optimal.

“Kalau saja skema itu konsisten, seharusnya kita sudah punya teknologi batu bara bersih. Tapi kenyataannya tidak terjadi,” ujarnya, menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang konsisten untuk memperkuat pengembangan teknologi pertambangan.

Membangun Fondasi Menuju Indonesia Emas 2045

Hendra menekankan bahwa pengelolaan mineral kritis harus dilakukan secara bijak, tepat, dan berkelanjutan. Eksplorasi yang dilakukan sekarang menjadi kunci agar cadangan tetap tersedia untuk generasi mendatang.

Hilirisasi dan pengembangan teknologi lokal juga menjadi faktor utama agar Indonesia tidak hanya menjadi pengekspor bahan mentah, tetapi mampu mengolah sendiri mineral strategis. Kombinasi eksplorasi, teknologi, dan kebijakan fiskal yang tepat akan menjadi fondasi menuju Indonesia Emas 2045.

Dengan strategi ini, sektor pertambangan tidak hanya menopang ekonomi nasional, tetapi juga berperan dalam rantai pasok global, khususnya di industri teknologi dan energi, memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index