Apindo

Apindo: Persaingan Kerja di Indonesia Kini Sangat Ketat

Apindo: Persaingan Kerja di Indonesia Kini Sangat Ketat
Apindo: Persaingan Kerja di Indonesia Kini Sangat Ketat

JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani, menyoroti masalah lapangan kerja formal atau decent work di Indonesia. 

Menurutnya, tantangan terbesar saat ini bukan sekadar ketersediaan pekerjaan, tetapi terbatasnya lapangan kerja yang memenuhi standar formal.

Shinta menyebutkan, angkatan kerja baru setiap tahun mencapai 2 hingga 4 juta orang. Namun, angka pengangguran tetap tinggi, sekitar 7 hingga 9 juta orang per tahun. Kesenjangan ini membuat persaingan kerja semakin ketat, terutama bagi generasi muda.

Persaingan Kerja Meningkat Tajam Pasca-Pandemi

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan persaingan kerja pasca-pandemi melonjak drastis. Sebelum pandemi, satu lowongan pekerjaan biasanya diperebutkan oleh dua pencari kerja. Kini, satu posisi bisa diperebutkan hingga 8 sampai 16 orang.

“Makanya kalau kita lihat banyak sekali berita-berita itu kalau ada lowongan pekerjaan, ngantrinya sampai ribuan orang hanya untuk beberapa pekerjaan. Jadi ini menjadi satu kendala saat ini, yaitu tidak cukupnya lapangan pekerjaan,” ujar Shinta dalam seminar Indonesia Economic Outlook 2026 di Universitas Indonesia, Senin.

Persaingan ketat ini menunjukkan perlunya strategi baru untuk menciptakan lapangan kerja formal yang lebih banyak dan berkualitas.

Dominasi Generasi Z di Angka Pengangguran

Shinta menekankan, 67% pengangguran saat ini adalah Generasi Z berusia 15–29 tahun, setara 4,9 juta orang. Situasi ini menunjukkan bahwa kelompok muda paling terdampak ketatnya persaingan kerja di sektor formal.

Sementara itu, sektor informal terus berkembang hingga hampir 60%. Banyak angkatan kerja yang tidak tertampung di sektor formal beralih menjadi pekerja mandiri atau gig workers, seperti pengemudi ojek online, pelaku UMKM, dan pekerja lepas.

Fenomena ini memperlihatkan adanya pergeseran struktur tenaga kerja, dari pekerjaan formal ke pekerjaan yang lebih fleksibel tetapi rentan.

Lonjakan Pekerja Mandiri dan Pekerja Tak Dibayar

Apindo mencatat, jumlah pekerja mandiri atau key workers melonjak hingga 31,5 juta orang. Sementara peluang masuk ke sektor formal justru menyusut drastis, sehingga sekitar 7,6 juta orang kehilangan kesempatan berkarir di pekerjaan yang lebih stabil.

Selain itu, pekerja keluarga atau yang tidak menerima gaji juga meningkat signifikan, mencapai 7,3 juta orang. Kondisi ini menambah tekanan pada struktur tenaga kerja di Indonesia, karena banyak individu bekerja tanpa perlindungan sosial atau pendapatan tetap.

Shinta menekankan, lonjakan pekerja mandiri sekaligus menunjukkan tingginya ketergantungan masyarakat pada pekerjaan informal untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Kritik terhadap Cara Perhitungan Pengangguran

Shinta juga mengkritik metode perhitungan pengangguran Indonesia yang dianggap tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Menurutnya, BPS menganggap seseorang sudah bekerja jika memperoleh penghasilan minimal satu jam selama satu minggu.

“Artinya ada 7 juta pengangguran, 19 juta pekerja tidak dibayar, 31 juta pekerja mandiri, total 57 juta pekerja atau 180 juta jiwa jika kita hitung bersama keluarganya hidup dari pekerjaan yang rentang,” ungkap Shinta.

Kondisi ini menegaskan bahwa angka pengangguran resmi seringkali tidak menggambarkan kompleksitas pasar tenaga kerja, terutama terkait pekerjaan informal dan penghasilan tidak tetap.

Dampak Persaingan Tinggi bagi Angkatan Kerja

Persaingan ketat berdampak langsung pada kualitas hidup generasi muda dan pekerja baru. Dengan satu lowongan diperebutkan hingga 16 orang, banyak individu terpaksa menempuh pekerjaan sementara, kontrak jangka pendek, atau gig work yang rentan dan tidak memberikan kepastian finansial.

Fenomena ini juga menekankan pentingnya peningkatan kapasitas angkatan kerja, termasuk keterampilan digital, kewirausahaan, dan soft skills, agar mampu bersaing di pasar kerja yang semakin kompleks.

Kebutuhan Penciptaan Lapangan Kerja Formal

Shinta menekankan pentingnya kebijakan proaktif dari pemerintah dan pelaku usaha untuk menciptakan lebih banyak pekerjaan formal. Langkah ini termasuk pengembangan sektor industri yang mampu menyerap tenaga kerja muda, inovasi dalam sektor digital, serta dukungan bagi UMKM yang dapat menjadi wadah pekerjaan formal bagi pekerja mandiri.

Upaya ini diharapkan mengurangi ketergantungan masyarakat pada pekerjaan informal dan meningkatkan stabilitas ekonomi keluarga.

Tantangan Masa Depan dan Solusi

Dengan jumlah angkatan kerja yang terus bertambah setiap tahun, kebutuhan akan pekerjaan formal yang berkualitas akan semakin mendesak. Shinta menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, industri, dan lembaga pendidikan untuk menyiapkan tenaga kerja siap pakai dan produktif.

Langkah strategis ini mencakup pelatihan keterampilan, peningkatan investasi di sektor industri, dan penguatan regulasi ketenagakerjaan. Tujuannya, agar setiap lowongan pekerjaan dapat menyerap tenaga kerja dengan adil dan mengurangi persaingan yang berlebihan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index