Industri Nasional

Insentif Otomotif 2026 Jadi Kunci Pulihkan Industri Nasional

Insentif Otomotif 2026 Jadi Kunci Pulihkan Industri Nasional
Insentif Otomotif 2026 Jadi Kunci Pulihkan Industri Nasional

JAKARTA - Kebijakan insentif otomotif kembali menjadi sorotan jelang 2026, terutama setelah Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai ekosistem otomotif nasional berada pada fase yang membutuhkan penanganan lebih serius. 

Tidak hanya karena penjualan mobil konvensional melemah, tetapi juga karena tingginya dominasi kendaraan listrik impor yang membuat industri lokal kehilangan momentum penting.

Dalam beberapa tahun terakhir, pergeseran selera konsumen dan perubahan arah teknologi telah memunculkan dinamika baru. Namun, menurut Kemenperin, dinamika tersebut belum sepenuhnya menjadi peluang karena manfaat ekonominya masih banyak mengalir ke luar negeri. Dorongan insentif pun dianggap sebagai langkah strategis agar industri otomotif nasional tidak semakin tertinggal dalam persaingan regional.

Melalui data yang dikumpulkan kementerian, terlihat bahwa kondisi industri tidak sedang berada dalam fase ideal. Karena itu, Kemenperin menegaskan perlunya kebijakan pemulihan agar struktur industri tetap terjaga dan lapangan kerja tidak ikut terdampak.

PENJUALAN EV MENINGKAT, NAMUN MANFAAT INDUSTRI BELUM TERASAKAN

Lonjakan penjualan kendaraan listrik menjadi salah satu fenomena paling menonjol sepanjang 2025. Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, mengungkapkan bahwa penjualan electric vehicle (EV) selama Januari–Oktober 2025 mencapai 69.146 unit.

Namun, sebagian besar peningkatan itu tidak memberikan dampak signifikan bagi industri lokal karena sekitar 73 persen dari total unit tersebut adalah kendaraan impor.

Kondisi ini, menurut Febri, membuat nilai tambah dan serapan tenaga kerja justru lebih banyak dinikmati negara asal EV tersebut. Dengan struktur pasar seperti ini, industri otomotif dalam negeri harus bekerja ekstra untuk mempertahankan kelangsungan rantai produksinya.

“Keliru jika menyimpulkan industri otomotif sedang kuat hanya dengan melihat pertumbuhan pada segmen tertentu. Penjualan yang turun jauh di bawah angka produksi sementara EV impor naik tajam adalah fakta yang tak bisa dihindari,” katanya.

Ia menegaskan bahwa keadaan tersebut menjadi dasar mengapa insentif penting untuk dibahas dan dipersiapkan. “Kami memandang bahwa dibutuhkan insentif untuk membalikkan keadaan tersebut,” lanjutnya.

SEGMENTASI ICE MELEMAH, PASAR DOMESTIK TERTEKAN

Berbanding terbalik dengan tingginya minat terhadap EV impor, segmen kendaraan konvensional berbahan bakar minyak yang selama ini menjadi tulang punggung pasar malah terus melemah. Penjualan ICE yang diproduksi secara lokal berada di bawah kapasitas produksi tahunan, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan keberlanjutan rantai pasok dan utilisasi pabrik.

Febri menilai bahwa menurunnya penjualan ICE bukan sekadar persoalan selera pasar, tetapi terkait kondisi daya beli, kompetisi, dan penyesuaian harga.

Berdasarkan data Gaikindo, penjualan mobil wholesales Januari–Oktober 2025 hanya mencapai 634.844 unit, turun 10,6 persen dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, penjualan ritel juga terkoreksi 9,6 persen menjadi 660.659 unit.

Untuk itu, pemerintah memandang bahwa stimulus khusus diperlukan agar kedua segmen—baik EV maupun ICE—mampu bergerak secara lebih seimbang dalam mendukung perekonomian nasional.

PAMERAN OTOMOTIF BELUM JADI INDIKATOR INDUSTRI SEHAT

Dalam beberapa bulan terakhir, maraknya pameran otomotif yang diselenggarakan di berbagai daerah sempat dianggap sebagai indikasi bangkitnya industri otomotif nasional. Namun, Febri menyebut anggapan tersebut keliru dan tidak mencerminkan kondisi sebenarnya.

Ia menegaskan bahwa pameran justru merupakan strategi pelaku industri untuk menjaga minat pasar di tengah tekanan permintaan.

“Sekali lagi, kita harus menggunakan data statistik yang ada untuk menggambarkan kondisi obyektif industri otomotif saat ini dan tidak menggunakan jumlah event pameran otomotif,” ujarnya.

Menurutnya, kondisinya jelas: penjualan melemah, kapasitas pabrik tidak terpakai optimal, dan EV impor mendominasi pasar. Dalam situasi demikian, insentif menjadi salah satu opsi paling realistis untuk menjaga keberlangsungan usaha sekaligus melindungi pekerja dari potensi PHK.

INSENTIF DIARAHKAN UNTUK KELAS MENENGAH-BAWAH BERBASIS TKDN

Meskipun Kemenperin belum merinci bentuk final insentif yang akan diajukan, Febri menegaskan bahwa arah kebijakannya akan fokus pada segmen kelas menengah-bawah serta berbasis pada nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Pendekatan ini diharapkan bisa mendorong produsen untuk berinvestasi lebih baik pada komponen lokal dan membuka peluang penciptaan nilai tambah di dalam negeri. Di sisi lain, konsumen juga bisa menikmati penurunan harga yang memadai.

Febri menjelaskan bahwa ketika industri berada dalam tekanan, intervensi berupa kebijakan fiskal bukan hanya membantu pabrikan, tetapi turut membangun sentimen positif yang dapat memulihkan pasar secara lebih cepat.

KEBIJAKAN 2026: TANPA INSENTIF EV, PERLUKAH SKEMA BARU?

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan bahwa pada 2026 tidak akan ada lagi insentif kendaraan listrik. Keputusan ini menjadi faktor penting yang ikut diperhitungkan Kemenperin dalam menyusun strategi dukungan baru.

Dengan pasar yang masih rapuh, ketidakhadiran insentif EV justru berpotensi memperlebar jarak kemampuan produksi lokal dengan serbuan produk impor. Karena itu, pembahasan kebijakan baru dipandang sangat mendesak agar ekosistem otomotif nasional tidak kehilangan daya saing.

Bagi Kemenperin, pemulihan industri otomotif bukan hanya persoalan angka penjualan, tetapi juga menyangkut keberlanjutan manufaktur, investasi jangka panjang, dan perlindungan tenaga kerja.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index