JAKARTA - Pemerintah memutuskan menunda penerapan pungutan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada 2026.
Keputusan ini diambil untuk menyesuaikan kondisi ekonomi nasional yang belum stabil, sehingga kebijakan dianggap belum tepat dilaksanakan.
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menyatakan, implementasi cukai akan dipertimbangkan ketika pertumbuhan ekonomi mencapai lebih dari 6%, menunggu momentum yang lebih kondusif bagi masyarakat dan sektor usaha.
Pertimbangan Ekonomi dan Dampak Sosial
“Memang kami belum menjalankan. Kami akan mempertimbangkan mulai menerapkan ketika ekonomi sudah lebih baik. Jika pertumbuhan ekonomi di atas 6%, barulah cukai yang pantas bisa dibahas,” ujar Purbaya dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI, Senin.
Purbaya menekankan, kondisi ekonomi saat ini, termasuk daya beli masyarakat, belum cukup kuat untuk menanggung beban tambahan dari kebijakan cukai MBDK. Penundaan ini bertujuan menjaga keseimbangan sosial-ekonomi dan menghindari tekanan pada konsumen.
Potensi Kehilangan Penerimaan dan Kompensasi
Dalam APBN 2026, penerimaan dari cukai MBDK semula ditargetkan sebesar Rp7 triliun. Penundaan kebijakan ini berarti pemerintah sementara kehilangan potensi penerimaan tersebut.
Meski demikian, Purbaya menekankan bahwa rencana pungutan bea keluar emas dan batubara bisa menutup sebagian kehilangan penerimaan. Pemerintah menilai langkah ini sebagai mitigasi risiko fiskal akibat penundaan cukai minuman manis.
Peluang Implementasi Semester II-2026
Menteri Keuangan membuka kemungkinan kebijakan cukai MBDK diterapkan pada semester II-2026, jika pertumbuhan ekonomi benar-benar sudah melampaui 6%. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi pemerintah untuk menyesuaikan kebijakan fiskal dengan kondisi ekonomi aktual.
Dengan strategi ini, pemerintah tetap menjaga target penerimaan tanpa menambah beban langsung bagi masyarakat, sekaligus menunggu momentum ekonomi yang lebih stabil untuk memulai kebijakan cukai baru.
Keseimbangan Kebijakan Fiskal dan Ekonomi
Penundaan cukai MBDK juga mencerminkan upaya pemerintah menyeimbangkan kebijakan fiskal dan pertumbuhan ekonomi. Meski kehilangan sementara potensi penerimaan, langkah ini diharapkan mampu mendorong konsumsi domestik dan stabilitas harga.
Selain itu, penerapan bea keluar komoditas strategis menjadi alternatif untuk menutup potensi penerimaan, sehingga pemerintah tetap mampu menjalankan APBN tanpa menimbulkan tekanan tambahan pada masyarakat.