Freeport Indonesia Konversi PLTUA Batubara ke PLTG LNG

Senin, 13 Oktober 2025 | 10:02:20 WIB
Freeport Indonesia Konversi PLTUA Batubara ke PLTG LNG

JAKARTA - Komitmen PT Freeport Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon kian nyata. Perusahaan tambang raksasa ini mengambil langkah strategis dengan mengonversi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive berbahan bakar batubara menjadi pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) berbasis LNG.

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, menegaskan bahwa langkah ini bukan sekadar wacana, melainkan sudah masuk tahap persiapan konversi.

“Kami sedang mengubah dan mengonversi power plant (pembangkit listrik) kami yang menggunakan batu bara menjadi LNG,” kata Tony saat ditemui di sela Indonesia International Sustainability Forum (IISF) di Jakarta, Sabtu.

Konversi Energi, Dari Batubara ke Gas

PLTU captive yang dimiliki Freeport selama ini menyuplai kebutuhan listrik untuk operasi tambang di Papua. Berkapasitas sekitar 200 megawatt, pembangkit tersebut menjadi tulang punggung energi perusahaan. Namun, ketergantungan terhadap batubara dinilai tidak sejalan dengan target dekarbonisasi jangka panjang.

Karena itu, Freeport memutuskan untuk mengganti PLTU tersebut dengan combined cycle LNG power plant berkapasitas 270 megawatt. Pembangkit baru ini diproyeksikan mampu menekan emisi karbon hingga 60 persen dibandingkan sistem lama yang masih berbasis batubara.

Sumber LNG Masih Digodok

Meski sudah memastikan transisi ke LNG, Freeport masih menimbang sumber pasokan gas yang akan digunakan. Tony mengakui, hingga kini detail pemasok LNG masih dalam tahap pembahasan.

“Diharapkan dari dalam negeri. (Pasokannya) masih work in progress,” jelas Tony.

Hal ini menunjukkan bahwa Freeport ingin memastikan keberlanjutan proyek sekaligus mendukung ketahanan energi nasional melalui penggunaan LNG domestik.

Kontribusi Signifikan ke Target Emisi 2030

Konversi PLTU captive menjadi PLTG LNG merupakan bagian penting dari strategi Freeport untuk menekan emisi karbon. Perusahaan menargetkan dapat mengurangi emisi hingga 30 persen pada 2030. Bahkan, Tony menyebutkan capaian tersebut kemungkinan bisa lebih cepat tercapai.

“Tapi, tampaknya bahkan bisa lebih dari 30 persen. Sekarang, sudah 28 persen,” ujarnya optimistis.

Langkah ini sejalan dengan tren global industri ekstraktif yang dituntut untuk menerapkan prinsip keberlanjutan.

Bukan Hanya Pembangkit, Kendaraan Tambang Pun Berubah

Selain mengonversi pembangkit listrik, Freeport juga tengah melakukan transformasi lain yang signifikan: mengganti armada truk tambang berbahan bakar diesel dengan kereta listrik.

Upaya ini diharapkan mampu menekan emisi dari sektor transportasi internal tambang, yang selama ini banyak menggunakan bahan bakar solar.

“Cara pengelolaan kami sudah dilakukan dengan cara yang berkelanjutan meskipun kami merupakan industri ekstraktif,” tambah Tony.

Transformasi ini sekaligus menegaskan bahwa Freeport tidak hanya fokus pada satu sisi operasional, melainkan melakukan pendekatan menyeluruh demi mengurangi jejak karbon.

Dampak Terhadap Lingkungan dan Operasional

Dengan beralih ke LNG, Freeport akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus:

Efisiensi energi lebih tinggi – PLTG combined cycle dikenal memiliki efisiensi yang lebih baik dibanding PLTU berbasis batubara.

Penurunan signifikan emisi – penggunaan LNG sebagai energi transisi menghasilkan emisi yang jauh lebih rendah dibanding batubara, sehingga mendukung upaya dekarbonisasi nasional.

Konversi ini juga sejalan dengan agenda transisi energi Indonesia menuju net zero emission, sekaligus memberi sinyal positif kepada para pemangku kepentingan bahwa sektor industri ekstraktif pun bisa bergerak ke arah keberlanjutan.

PLTU Captive: Dari Penopang Utama ke Sejarah

Selama bertahun-tahun, PLTU captive berbahan bakar batubara telah menjadi sumber listrik utama Freeport untuk mendukung operasional tambangnya di Papua. Sebagai pembangkit swasta yang dibangun khusus untuk kebutuhan internal perusahaan, PLTU captive bukan untuk dijual ke pihak luar, melainkan murni menopang aktivitas produksi.

Namun, kini peran tersebut akan segera digantikan PLTG LNG yang lebih ramah lingkungan dan efisien. Pergeseran ini menandai perubahan besar dalam manajemen energi Freeport.

Selaras dengan Tren Industri Global

Langkah Freeport mengganti PLTU captive dengan PLTG LNG mencerminkan perubahan besar dalam industri pertambangan global. Perusahaan-perusahaan energi dan tambang kini dituntut untuk menekan emisi karbon dan beralih ke sumber energi yang lebih bersih.

Dalam konteks itu, Freeport tidak hanya merespons tuntutan regulasi dan pasar, tetapi juga menunjukkan komitmen nyata terhadap praktik pertambangan berkelanjutan.

Harapan dan Tantangan ke Depan

Meskipun rencana ini akan membawa dampak positif, tantangan tetap ada, terutama terkait pasokan LNG. Ketersediaan dan keandalan suplai LNG domestik akan sangat menentukan keberhasilan konversi pembangkit.

Namun, jika pasokan LNG dapat dipastikan, Freeport tidak hanya akan mencapai target penurunan emisi lebih cepat, tetapi juga memberi kontribusi signifikan terhadap pencapaian target dekarbonisasi Indonesia.

Transformasi energi yang dilakukan PT Freeport Indonesia menjadi contoh nyata bagaimana sektor ekstraktif bisa ikut berkontribusi pada transisi energi nasional. Dengan mengganti PLTU captive 200 MW berbasis batubara menjadi PLTG LNG 270 MW, perusahaan menargetkan penurunan emisi 60 persen sekaligus memperkuat komitmen mencapai reduksi karbon hingga 30 persen pada 2030.

Tak berhenti di situ, perubahan armada dari truk diesel ke kereta listrik juga menambah daftar inisiatif hijau yang dilakukan perusahaan. Bagi Freeport, langkah ini bukan hanya investasi pada efisiensi operasional, tetapi juga bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan dan generasi mendatang.

Terkini