Batu Bara

Danantara Diminta Tinjau Ulang Investasi di Proyek DME Batu Bara

Danantara Diminta Tinjau Ulang Investasi di Proyek DME Batu Bara
Danantara Diminta Tinjau Ulang Investasi di Proyek DME Batu Bara

JAKARTA - Rencana Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara untuk ikut mendanai proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) milik PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) kini menuai sorotan. Banyak pihak menilai, proyek senilai US$2,5 miliar atau sekitar Rp41,55 triliun itu berisiko tinggi jika tidak memiliki nilai keekonomian yang kuat.

Ketua Badan Kejuruan Pertambangan Perhimpunan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli mengingatkan bahwa Danantara sebaiknya tidak terburu-buru mengambil keputusan sebelum hasil kajian finansial selesai dan memenuhi kriteria investasi yang layak. 

“Bagi Danantara yang harus diwaspadai adalah proyek ini harus dikaji secara mendalam terutama untuk evaluasi ekonominya. Agar penyertaan modalnya tidak sia-sia atau merugi,” ujarnya.

Menurut Rizal, tiga indikator utama yang wajib diperhatikan adalah net present value (NPV), internal rate of return (IRR), dan payback period (PBP). Jika hasil kajian menunjukkan angka negatif, maka Danantara disarankan untuk memusatkan pendanaan pada proyek lain yang memberikan hasil investasi lebih pasti dan cepat.

Teknologi Tinggi dan Biaya Besar Jadi Tantangan Utama

Selain masalah keekonomian, Rizal menilai proyek DME batu bara masih menghadapi kendala dari sisi teknologi dan efisiensi biaya. Ia menyebutkan, proyek semacam ini memerlukan teknologi tingkat tinggi yang umumnya hanya dimiliki oleh mitra kerja asing, sehingga ketergantungan terhadap pihak luar tidak bisa dihindari.

“Selain membutuhkan belanja modal atau capital expenditure (capex) yang tinggi, proyek ini juga membutuhkan teknologi tinggi dari mitra luar negeri,” ujarnya menegaskan.

Rizal menambahkan, tanpa dukungan kebijakan dan insentif yang kuat dari pemerintah, harga jual DME akan sulit bersaing dengan liquefied petroleum gas (LPG) yang masih menjadi bahan bakar utama rumah tangga. Karena itu, ia menilai perlu adanya pengalihan subsidi LPG ke DME, agar produk hasil gasifikasi tersebut bisa diterima pasar. “Juga membutuhkan fasilitas fiskal dan pengalihan subsidi dari LPG ke DME,” katanya.

Gasifikasi Jadi Alternatif Realistis Sebelum Produksi DME

Rizal Kasli juga menyarankan agar pemerintah dan pelaku industri tidak langsung melompat ke proyek DME skala besar, melainkan memulai dari tahap gasifikasi batu bara. Menurutnya, pendekatan ini lebih realistis karena sudah pernah diuji dalam pilot project gasifikasi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (Tekmira) di Lampung.

“Hasil gasifikasi tersebut digunakan untuk mengalirkan gas ke rumah tangga lewat jaringan gas (Jargas atau Jarkot). Namun, perlu dikaji lagi karena penelitian tersebut tidak diteruskan,” ungkap Rizal.

Ia juga menyarankan agar Danantara memfokuskan investasi pada pengembangan ladang gas eksisting bersama PT Pertamina (Persero) atau mitra migas lainnya. Strategi ini dinilai lebih aman, mengingat potensi keuntungan dan kelayakan ekonominya lebih terukur dibanding proyek DME yang masih menghadapi banyak ketidakpastian.

PTBA dan Danantara Masih Lanjutkan Pembahasan

Sementara itu, PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) memastikan bahwa spesifikasi proyek gasifikasi batu bara menjadi DME tidak mengalami perubahan dari rencana sebelumnya bersama Air Products & Chemicals Inc. (APCI), meskipun perusahaan asal Amerika Serikat tersebut telah mundur dari proyek.

“Spek dan kapasitas DME masih sama. Sekitar 1 juta ton per tahun. Itu sesuai arahan Satgas Hilirisasi Kementerian ESDM,” kata Direktur Hilirisasi dan Diversifikasi Produk PTBA, Turino Yulianto, kepada Bloomberg Technoz.

Turino menjelaskan bahwa Danantara masih dalam tahap pembahasan untuk menentukan peran dan bentuk keterlibatannya dalam proyek tersebut. “Dengan Danantara masih dalam proses diskusi. Belum selesai. Di dalamnya membahas insentif, cost-benefit analysis, dan lain-lain. Mudah-mudahan segera mengerucut,” ungkapnya.

Ia juga memastikan bahwa PTBA telah menyiapkan cadangan batu bara sebesar 800 juta ton untuk mendukung proyek hilirisasi, termasuk proyek DME. Proyek senilai US$2,5 miliar ini diproyeksikan akan mengonsumsi 5—6 juta ton batu bara per tahun, dengan target groundbreaking pada 2026.

Turino tidak menampik bahwa PTBA masih mencari mitra asing untuk memperkuat struktur investasi proyek ini. Ia memberikan sinyal bahwa investor asal China kemungkinan besar akan menjadi salah satu mitra utama. “Insyaallah groundbreaking tahun depan, kalau semua lancar. Kami sudah agak mengerucut nih. Cadangan sudah ready, tempat sudah ready, teknologi kami sudah ready. Tinggal keekonomian sedikit lagi,” ujarnya.

Insentif Pemerintah Jadi Penopang Harapan

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) disebut tengah menyiapkan insentif baru untuk memperkuat daya tarik investasi di sektor hilirisasi batu bara. Langkah ini diambil menyusul hengkangnya Air Products dari proyek DME PTBA beberapa waktu lalu.

Tiga bentuk insentif yang tengah dikaji antara lain:

Royalti 0% untuk batu bara yang digunakan dalam proses gasifikasi,

Harga batu bara khusus di mulut tambang guna meningkatkan nilai tambah, dan

Perpanjangan izin usaha pertambangan (IUP) sesuai umur ekonomis proyek gasifikasi.

Kombinasi dari ketiga insentif tersebut diharapkan mampu meningkatkan kelayakan finansial proyek dan menarik kembali minat investor. Namun, para pengamat menilai, tanpa kajian ekonomi yang komprehensif dan kebijakan fiskal yang tepat, proyek DME berpotensi menjadi beban baru bagi keuangan negara maupun Danantara.

Rencana Danantara untuk mendanai proyek DME batu bara menjadi ujian besar bagi strategi investasi jangka panjang Indonesia di sektor energi. Kajian ekonomi yang matang, dukungan insentif fiskal, serta keberanian untuk memilih proyek yang benar-benar efisien akan menjadi kunci untuk menghindari potensi kerugian besar di masa depan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index