Energi

Singapura Genjot Pembangkit Nuklir Demi Percepatan Transisi Energi

Singapura Genjot Pembangkit Nuklir Demi Percepatan Transisi Energi
Singapura Genjot Pembangkit Nuklir Demi Percepatan Transisi Energi

JAKARTA - Ketika banyak negara masih memperdebatkan masa depan energi bersih, Singapura justru mengambil langkah konkret dan berani.
Negeri pulau tersebut kini mulai mengembangkan teknologi nuklir sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk memastikan ketahanan energi nasional sekaligus mendukung transisi menuju emisi rendah karbon.

Langkah agresif ini disampaikan oleh Menteri Energi dan Teknologi Singapura, Tan See Leng, yang menegaskan bahwa pengembangan energi nuklir merupakan terobosan penting bagi masa depan energi Singapura.

“Bagi Singapura, negara kecil, rendah, dan minim sumber energi alternatif, tantangan transisi energi jauh lebih kompleks. Untuk menjamin masa depan rendah karbon bagi generasi mendatang, kita harus merencanakan dengan lebih cerdas dan bekerja lebih keras,” ujar Tan.

Menurutnya, keterbatasan sumber daya dan lahan membuat Singapura tidak memiliki banyak pilihan selain mengandalkan inovasi dan diversifikasi energi untuk mencapai target dekarbonisasi penuh.

Diversifikasi Energi Jadi Kunci Transisi

Dalam paparannya, Tan See Leng menegaskan bahwa tidak ada satu solusi tunggal yang mampu menjawab seluruh tantangan energi masa depan. Oleh sebab itu, pemerintah berkomitmen untuk mengembangkan portofolio energi yang beragam dan saling melengkapi.

“Energi masa depan Singapura akan menjadi kombinasi sumber domestik dan impor, baik berupa elektron maupun molekul. Kita harus siap mendukung seluruh jalur berkelanjutan yang menjanjikan, dari teknologi mapan hingga opsi frontier,” kata Tan.

Hingga kini, energi surya masih menjadi tulang punggung utama energi terbarukan Singapura. Kapasitas terpasang tenaga surya mencapai 1,7 gigawatt-peak (GWp) dan ditargetkan meningkat menjadi 2 GWp sebelum 2030.

Namun, karena keterbatasan ruang dan lahan, tenaga surya diperkirakan hanya akan mampu memenuhi sekitar 10 persen kebutuhan listrik nasional pada tahun 2050.

Menyadari keterbatasan tersebut, pemerintah kemudian mulai menjajaki potensi energi panas bumi (geothermal) dan energi nuklir skala kecil atau Small Modular Reactors (SMR) sebagai solusi jangka panjang.

“Energi nuklir memiliki potensi untuk menjadi pilihan yang aman, andal, dan kompetitif biaya bagi Singapura,” ujar Tan menegaskan.

Pembangunan Pembangkit Nuklir Skala Kecil Dimulai

Sebagai bagian dari strategi percepatan transisi energi, pemerintah Singapura mulai mempersiapkan pembangunan pembangkit nuklir skala kecil (SMR).
Teknologi ini dianggap lebih aman, efisien, dan dapat diadaptasi untuk kawasan padat penduduk seperti Singapura.

Untuk memastikan keamanan dan regulasi yang ketat, pemerintah telah membentuk Nuclear Energy Office di bawah Energy Market Authority (EMA) dan Nuclear Safety Division di bawah National Environment Agency (NEA).

Kedua lembaga ini memiliki peran penting dalam merancang, mengawasi, dan memastikan standar keselamatan internasional diterapkan pada seluruh proyek nuklir di Singapura.

Langkah ini sekaligus menandai bahwa pengembangan energi nuklir tidak dilakukan secara terburu-buru, melainkan didasarkan pada riset, transparansi, dan kerja sama internasional.

“Kami juga aktif bekerja sama dengan mitra internasional. Singapura telah menandatangani 123 Agreement dengan Amerika Serikat pada Juli tahun lalu dan perjanjian serupa dengan Prancis pada Mei tahun ini,” jelas Tan See Leng.

Selain dua perjanjian tersebut, EMA juga akan menandatangani kerja sama baru dengan Idaho National Laboratory dan Battelle Memorial Institute. Kolaborasi ini bertujuan memperkuat riset, pengembangan teknologi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia di bidang energi nuklir.

Menjawab Tantangan Energi di Tengah Krisis Global

Peningkatan permintaan energi global dan komitmen terhadap penurunan emisi karbon membuat banyak negara meninjau ulang strategi energinya. Singapura, yang selama ini bergantung pada gas alam cair (LNG) dan impor energi lintas batas, menyadari bahwa ketergantungan ini bisa menjadi risiko jangka panjang.

Dalam konteks itu, energi nuklir menawarkan keunggulan strategis:

Stabilitas pasokan listrik jangka panjang tanpa ketergantungan pada fluktuasi pasar energi global.

Emisi karbon yang sangat rendah, membantu Singapura mencapai target net-zero pada 2050.

Efisiensi biaya operasional, terutama dengan penerapan teknologi SMR yang lebih hemat ruang dan bahan bakar.

Langkah ini juga sejalan dengan kebijakan regional dalam Asean Power Grid (APG), yang bertujuan memperkuat interkoneksi energi di kawasan Asia Tenggara.
Dengan posisi geografisnya yang strategis, Singapura diharapkan dapat berperan sebagai hub energi berkelanjutan di kawasan tersebut.

Tan See Leng menekankan bahwa pembangunan nuklir tidak akan menggantikan energi terbarukan lainnya, melainkan menjadi komplementer dalam sistem energi masa depan.

“Kita harus membangun masa depan energi yang saling terhubung, tidak dalam isolasi. Baik melalui aliran elektron atau molekul, kita harus memperkuat hubungan energi dengan kawasan dan mitra internasional,” ujar Tan.

Nuklir Sebagai Pilar Transisi Energi Singapura

Langkah Singapura dalam mengembangkan pembangkit nuklir menandai era baru dalam strategi transisi energi nasional.
Bagi negara kecil dengan sumber daya terbatas, keputusan ini menunjukkan keberanian politik dan komitmen terhadap masa depan energi bersih dan berkelanjutan.

Dengan dukungan lembaga riset internasional, regulasi ketat, dan kerja sama strategis dengan negara maju seperti AS dan Prancis, Singapura menegaskan bahwa energi nuklir bukan sekadar alternatif, melainkan pondasi penting untuk mencapai ketahanan energi dan netral karbon.

Kebijakan ini sekaligus menjadi contoh bagi negara lain di kawasan Asia Tenggara — bahwa dengan perencanaan matang dan kemauan politik yang kuat, bahkan negara kecil sekalipun bisa memimpin dalam inovasi energi bersih.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index