JAKARTA - Rencana pemerintah mewajibkan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia mengandung 10 persen etanol atau E10, disambut positif oleh PT Pertamina (Persero). Dukungan ini menegaskan bahwa langkah menuju transisi energi dan pengurangan emisi karbon semakin nyata, sekaligus membuka jalan bagi kemandirian energi dalam negeri.
Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, menegaskan bahwa kebijakan pencampuran etanol dalam BBM bukanlah hal baru, sebab telah lama diterapkan di berbagai negara. Pertamina, menurut Simon, siap mengikuti arahan pemerintah dan berkontribusi dalam menyukseskan kebijakan tersebut.
Dukungan Pertamina terhadap Kebijakan E10
Pertamina memastikan komitmennya dalam mendukung pemerintah mewajibkan kandungan etanol 10 persen pada BBM. Simon mencontohkan, sejumlah negara bahkan telah melangkah lebih jauh dalam kebijakan energi berbasis etanol.
“Kita akan dukung arahan pemerintah dan kita tahu bahwa di beberapa negara sudah banyak yang mencampur etanol. Bahkan di Brasil, sudah beberapa tempat itu campuran 100% mandatori sudah E100. Tempat lain mungkin hanya E20 (etanol 20%),” jelas Simon dalam pernyataannya yang dikutip CNBC Indonesia.
Ia menambahkan, kebijakan ini juga sejalan dengan upaya transisi energi yang sedang didorong Pertamina. “Ini juga bagian dari inisiatif kita juga mendorong transisi energi dan penciptaan emisi yang lebih rendah, utamanya dari produk BBM,” tambahnya.
Peta Jalan Pemerintah dan Restu Presiden
Rencana penerapan mandatori E10 telah mendapat restu Presiden Prabowo Subianto. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini tengah menyusun peta jalan atau road map untuk memastikan implementasi berjalan mulus.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan, tujuan utama dari kebijakan E10 adalah mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor energi. Dengan memanfaatkan etanol sebagai campuran BBM, pemerintah ingin memanfaatkan potensi sumber daya lokal yang berasal dari tanaman singkong dan tebu.
“Tujuannya apa? Kita mengurangi impor. Dan etanol ini didapatkan dari singkong atau dari tebu. Dan ini mampu menciptakan lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi daerah, dan sekaligus pemerintahan,” ujar Bahlil.
Manfaat Ekonomi dan Lapangan Kerja
Kebijakan E10 tidak hanya dianggap sebagai strategi energi, tetapi juga sebagai instrumen pembangunan ekonomi daerah. Bahlil menilai, produksi etanol berbasis singkong maupun tebu akan membuka peluang besar bagi industri hilir sekaligus menciptakan banyak lapangan kerja baru.
Dengan begitu, masyarakat di daerah penghasil bahan baku akan merasakan manfaat langsung, baik dari sisi pendapatan petani maupun terbukanya kesempatan kerja di sektor pengolahan. Hal ini diharapkan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi daerah sekaligus mengurangi ketergantungan pada pasokan energi impor yang selama ini membebani neraca perdagangan.
Bukan Kebijakan Baru di Dunia
Bahlil menegaskan, pencampuran etanol dalam BBM bukanlah hal yang patut diragukan. Sejumlah negara telah lebih dulu berhasil mengadopsi kebijakan ini dengan tingkat campuran yang beragam.
“Jadi sangatlah tidak benar kalau dibilang etanol itu nggak bagus. Buktinya di negara-negara lain sudah pakai barang ini,” kata Bahlil.
Ia mencontohkan Brasil, salah satu negara dengan implementasi paling agresif. Di Negeri Samba, bensin sudah dicampur etanol hingga 27 persen, bahkan di beberapa wilayah telah diterapkan campuran 100 persen (E100). Contoh ini menunjukkan bahwa etanol telah terbukti layak dan efektif sebagai bagian dari energi bersih di banyak negara.
Transisi Energi dan Masa Depan E10 di Indonesia
Dengan dukungan Pertamina serta kesiapan pemerintah menyiapkan regulasi, penerapan E10 di Indonesia menjadi langkah awal menuju pemanfaatan energi yang lebih berkelanjutan. Selain menekan impor, kebijakan ini juga berpotensi menjadi katalis dalam menurunkan emisi karbon.
Pertamina menilai, adopsi E10 bukan sekadar proyek kebijakan, melainkan sebuah bagian penting dari roadmap transisi energi nasional. Ke depan, jika implementasi berjalan mulus, bukan tidak mungkin Indonesia akan memperluas persentase campuran etanol di atas 10 persen, mengikuti jejak negara lain.
Langkah ini sekaligus mengukuhkan posisi Indonesia dalam gerakan global mengurangi emisi, sekaligus memperkuat kemandirian energi berbasis sumber daya lokal. Dengan dukungan semua pihak, E10 bisa menjadi tonggak baru dalam sejarah energi nasional.