Dana Pemda

Dana Pemda Mengendap Rp233 Triliun, Tito Ungkap Sembilan Alasan

Dana Pemda Mengendap Rp233 Triliun, Tito Ungkap Sembilan Alasan
Dana Pemda Mengendap Rp233 Triliun, Tito Ungkap Sembilan Alasan

JAKARTA - Fenomena dana pemerintah daerah (Pemda) yang menumpuk di bank kembali menjadi sorotan publik. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengungkapkan, jumlah dana yang belum terserap oleh Pemda hingga kini mencapai Rp233,97 triliun. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar, mengingat di sisi lain banyak program pembangunan dan pelayanan masyarakat yang membutuhkan anggaran lebih cepat.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan bahwa penumpukan dana di perbankan bukan tanpa alasan. Ada sederet faktor teknis hingga kebijakan yang menyebabkan uang rakyat tersebut belum bisa dibelanjakan sesuai rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025.

Komposisi Dana dan Sebaran Wilayah

Mengutip data Bank Indonesia (BI), Tito menyebut dana Pemda yang tersimpan di perbankan terbagi ke dalam beberapa bentuk. Dari total Rp233,97 triliun, sekitar Rp178 triliun berbentuk giro, Rp48 triliun berupa simpanan deposito, dan Rp7,43 triliun tersimpan sebagai tabungan.

Jika dilihat berdasarkan wilayah administrasi, dana paling banyak ditahan oleh kabupaten dengan nilai Rp134,26 triliun. Selanjutnya, provinsi menyimpan Rp60,20 triliun dan kota Rp39,51 triliun.

Menariknya, ada perbedaan signifikan antarwilayah. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan simpanan terbesar, mencapai Rp14,68 triliun, sedangkan Sulawesi Barat tercatat paling rendah hanya Rp150 miliar. Untuk kategori kabupaten, Bojonegoro menempati posisi tertinggi dengan Rp3,6 triliun, sedangkan di level kota, Banjarbaru memimpin dengan Rp5,16 triliun.

Faktor-Faktor Penyebab Penumpukan

Tito menyebutkan sedikitnya ada sembilan faktor utama yang membuat realisasi belanja Pemda berjalan lambat, sehingga dana daerah masih menumpuk di bank.

Pertama, adanya kebijakan Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 tentang efisiensi, yang memaksa Pemda melakukan penyesuaian pendapatan dan belanja. Pergeseran anggaran tersebut otomatis menghambat pelaksanaan APBD, sehingga banyak program tidak bisa langsung dijalankan.

Kedua, penyesuaian visi dan misi kepala daerah baru setelah pelantikan pada Februari 2025. Perubahan arah kebijakan menyebabkan program harus direvisi agar selaras dengan prioritas baru.

Ketiga, kendala administrasi belanja barang dan jasa yang cukup rumit, mulai dari belanja modal, bantuan sosial, hingga subsidi. Banyak daerah kesulitan mempercepat proses karena birokrasi panjang.

Keempat, masalah teknis dalam penggunaan katalog elektronik versi 6 yang baru diberlakukan. Sebagian besar Pemda masih beradaptasi dengan sistem baru, sehingga terjadi keterlambatan.

Kelima, karakteristik proyek fisik yang baru bisa dimulai pada kuartal II atau III. Karena sebagian besar belanja modal adalah pembangunan infrastruktur, pelaksanaannya cenderung menumpuk di pertengahan hingga akhir tahun.

Keenam, adanya kecenderungan pembayaran proyek oleh rekanan atau pihak ketiga dilakukan menjelang akhir tahun. “Ada juga yang ingin membayar akhir tahun sehingga ditahan dulu. Banyak juga rekanan yang tidak mau mengambil uangnya dulu. Dia akan mengambilnya di akhir tahun. Sehingga akhirnya uangnya tersimpan di bank,” jelas Tito.

Faktor ketujuh adalah keterlambatan kementerian/lembaga pengampu dalam menetapkan petunjuk teknis Dana Alokasi Khusus (DAK). Kondisi ini membuat daerah harus menunggu sebelum bisa merealisasikan anggaran.

Kedelapan, hambatan dalam pengadaan tanah yang dilakukan bersamaan dengan pekerjaan fisik. Proses sertifikasi lahan sering kali memakan waktu lama, sehingga pelaksanaan proyek tertunda.

Kesembilan, keterlambatan pembayaran utang iuran BPJS oleh Pemda karena masih diperlukan proses rekonsiliasi data. Hal ini juga membuat sebagian dana belum bisa digunakan sesuai rencana.

Dampak Penumpukan Dana

Fenomena dana daerah yang mengendap jelas menimbulkan sejumlah konsekuensi. Dari sisi pembangunan, penundaan realisasi anggaran berarti proyek-proyek infrastruktur, pelayanan publik, hingga bantuan sosial berjalan lebih lambat dari target. Kondisi ini berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, penumpukan dana juga berhubungan langsung dengan masalah inflasi. Dalam rapat koordinasi pengendalian inflasi, Tito menekankan pentingnya percepatan belanja Pemda agar uang beredar di masyarakat bisa meningkat. Jika dana terlalu lama tersimpan di bank, sirkulasi ekonomi menjadi lambat.

Di sisi lain, fenomena ini juga sering menimbulkan persepsi negatif dari masyarakat. Publik menilai adanya ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mengelola anggaran, padahal banyak kebutuhan mendesak yang menunggu realisasi.

Harapan ke Depan

Untuk mengatasi persoalan ini, Kemendagri bersama kementerian terkait mendorong Pemda agar lebih disiplin dalam perencanaan dan eksekusi anggaran. Tito menegaskan bahwa pengawasan akan diperketat, khususnya terhadap daerah dengan saldo dana tinggi namun realisasi pembangunan rendah.

Percepatan juga diharapkan terjadi melalui optimalisasi sistem katalog elektronik, penyederhanaan administrasi, hingga percepatan pengadaan tanah. Dengan langkah-langkah ini, dana triliunan rupiah yang masih mengendap di bank diharapkan bisa segera masuk ke sektor produktif.

Tantangan lain adalah mengubah budaya belanja menumpuk di akhir tahun. Pemerintah pusat berharap Pemda dapat lebih merata dalam merealisasikan anggaran sejak awal tahun agar manfaatnya lebih cepat dirasakan masyarakat.

Dana Pemda senilai Rp233,97 triliun yang masih tersimpan di bank menunjukkan adanya kesenjangan besar antara perencanaan dan realisasi anggaran daerah. Berbagai faktor mulai dari regulasi, administrasi, hingga teknis menjadi penyebab utama keterlambatan.

Meskipun begitu, penjelasan Mendagri Tito Karnavian memberi gambaran bahwa masalah ini bukan semata kelalaian, melainkan konsekuensi dari sistem birokrasi dan penyesuaian kebijakan. Percepatan belanja menjadi kunci untuk memastikan dana publik benar-benar kembali ke masyarakat melalui pembangunan dan layanan yang nyata.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index