UU Pajak Digugat ke MK karena Pajaki Pesangon Pensiun

Selasa, 07 Oktober 2025 | 09:53:12 WIB
UU Pajak Digugat ke MK karena Pajaki Pesangon Pensiun

JAKARTA - Kebijakan perpajakan kembali menjadi sorotan publik setelah dua pekerja swasta, Rosul Siregar dan Maksum Harahap, resmi mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Gugatan ini muncul sebagai bentuk protes terhadap aturan yang menjadikan pesangon dan uang pensiun sebagai objek pajak, serta penerapan tarif progresif atas keduanya.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 170/PUU-XXIII/2025 pada Senin, 6 Oktober 2025, kuasa hukum pemohon, Ali Mukmin, menyampaikan dalil bahwa pesangon dan pensiun merupakan hasil jerih payah pekerja yang dikumpulkan selama bertahun-tahun. Karena itu, keduanya tidak sepatutnya disamakan dengan penghasilan yang diperoleh dari usaha atau laba modal.

“Pajak pesangon, pajak pensiun, itu sudah puluhan tahun dikumpulkan oleh para pekerja, tiba-tiba kok disamakan dengan pajak penghasilan progresif,” ujar Ali Mukmin di hadapan majelis hakim MK.

Pensiun dan Pesangon Dinilai Bukan Tambahan Ekonomi

Inti dari gugatan ini terletak pada Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang memasukkan pesangon dan pensiun sebagai objek pajak serta Pasal 17 yang menerapkan tarif progresif atas keduanya. Menurut para pemohon, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakadilan karena pensiun dan pesangon bukanlah penghasilan baru yang meningkatkan kemampuan ekonomi, melainkan bentuk tabungan jangka panjang dari hasil kerja selama puluhan tahun.

Pemohon menilai pemajakan atas pesangon dan pensiun sangat merugikan, terutama bagi pekerja yang telah mengabdi seumur hidup dan berharap dapat menikmati masa tua dengan tenang. 

Mereka menilai persepsi pemerintah dan DPR yang memandang pesangon sebagai tambahan kemampuan ekonomis sangat tidak tepat dan bahkan menyakitkan hati para pekerja.

“Pesangon dan pensiun tidak bisa disamakan dengan keuntungan usaha atau laba modal. Itu merupakan bentuk tabungan terakhir dari jerih payah pekerja sepanjang hidup mereka,” tegas Ali.

Para pemohon juga menekankan bahwa selama bekerja, pajak penghasilan telah dipotong langsung dari gaji bulanan mereka. Artinya, ketika tiba masa pensiun, pekerja seharusnya tidak lagi dibebani dengan kewajiban pajak atas dana yang sesungguhnya merupakan hasil kerja mereka sendiri.

Bertentangan dengan Hak Konstitusional

Lebih jauh, Rosul dan Maksum berargumen bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Menurut mereka, aturan dalam UU PPh dan UU HPP justru mencederai prinsip keadilan dan mengabaikan hak konstitusional pekerja.

“Ketentuan tersebut nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” tegas para pemohon dalam berkas gugatan.

Keduanya, yang mulai memasuki masa pensiun bulan ini, menilai bahwa perlakuan hukum yang menyamakan pensiun dan pesangon dengan penghasilan lainnya menciptakan diskriminasi. 

Mereka meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh juncto UU HPP bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Kritik terhadap Paradigma Perpajakan

Gugatan ini juga membuka kembali perdebatan mengenai paradigma perpajakan di Indonesia, khususnya dalam hal perlakuan terhadap penghasilan yang bersifat kompensasi jangka panjang seperti pesangon dan pensiun. 

Para pekerja menilai negara seharusnya memberikan penghargaan atas kontribusi mereka selama bertahun-tahun, bukan justru membebani mereka dengan pajak baru ketika masa kerja telah berakhir.

Persepsi pemerintah dan DPR yang menganggap pesangon sebagai tambahan kemampuan ekonomi disebut sangat keliru. Hal ini mengabaikan fakta bahwa pesangon dan pensiun adalah hak pekerja yang telah direncanakan jauh sebelumnya dan bukan penghasilan baru yang diperoleh secara rutin.

Selain itu, pekerja juga menyoroti ketidakadilan yang muncul dari penerapan tarif progresif pada pesangon. Pengenaan pajak dengan tarif tinggi pada saat pekerja menerima pesangon dinilai memperburuk beban finansial yang seharusnya dapat digunakan untuk menopang kehidupan setelah masa kerja berakhir.

Dampak Luas bagi Pekerja dan Pensiunan

Gugatan ini mencerminkan keresahan yang dirasakan banyak pekerja di Indonesia. Tidak sedikit yang merasa bahwa pajak atas pesangon dan pensiun merupakan bentuk ketidakadilan fiskal yang berdampak langsung pada kesejahteraan mereka. 

Bagi para pensiunan, dana tersebut menjadi penopang utama untuk biaya hidup di masa tua, termasuk kebutuhan kesehatan, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya.

Jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan ini, dampaknya akan signifikan. Pemerintah akan perlu meninjau ulang kebijakan perpajakan atas pesangon dan pensiun, serta merumuskan aturan baru yang lebih adil dan berpihak kepada pekerja.

Sebaliknya, jika gugatan ditolak, perdebatan mengenai keadilan sistem perpajakan kemungkinan akan terus bergulir. Banyak kalangan pekerja yang mungkin mendorong revisi peraturan melalui jalur legislatif untuk menghapus pemajakan atas pesangon dan pensiun.

Kasus uji materi ini menjadi momentum penting untuk meninjau ulang prinsip keadilan dalam sistem perpajakan nasional. Pajak seharusnya tidak membebani hak dasar pekerja, terlebih atas dana yang telah mereka kumpulkan dari hasil kerja keras selama bertahun-tahun.

Melalui gugatan ini, Rosul Siregar dan Maksum Harahap berharap Mahkamah Konstitusi dapat memberikan putusan yang tidak hanya berpihak pada hukum, tetapi juga pada rasa keadilan sosial. 

Jika konstitusi menjamin perlakuan hukum yang adil bagi setiap warga negara, maka pesangon dan pensiun sebagai “tabungan kehidupan” selayaknya terbebas dari beban pajak yang dianggap tidak semestinya.

Terkini