Transformasi Industri Nikel RI Melaju Lewat Teknologi HPAL Ramah Lingkungan

Rabu, 26 November 2025 | 13:35:55 WIB
Transformasi Industri Nikel RI Melaju Lewat Teknologi HPAL Ramah Lingkungan

JAKARTA - Upaya Indonesia memperkuat posisi sebagai pusat hilirisasi nikel dunia terus bergerak dengan pendekatan berbeda, terutama melalui pengembangan fasilitas High Pressure Acid Leaching (HPAL). 

Di tengah lonjakan global terhadap bahan baku baterai kendaraan listrik, teknologi ini muncul sebagai salah satu pendorong utama untuk meningkatkan nilai tambah komoditas nikel di Tanah Air.

Dorongan untuk memanfaatkan bijih nikel berkadar rendah menjadi alasan penting HPAL dikembangkan secara masif. Selama ini, sebagian besar pengolahan nikel hanya berfokus pada nikel berkadar tinggi (saprolit) yang diolah menggunakan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF).

Namun kebutuhan industri kendaraan listrik yang semakin besar membuat limonit—bijih nikel rendah—kini menjadi sumber daya strategis yang tidak bisa diabaikan.

Potensi Cadangan Besar Mendorong Hilirisasi

Indonesia memiliki modal kuat untuk mengembangkan teknologi HPAL. Menurut US Geological Survey, cadangan nikel Indonesia mencapai 55 juta ton, setara 42 persen cadangan global, menjadikannya negara dengan simpanan nikel terbesar di dunia. 

Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi strategis dalam membangun ekosistem kendaraan listrik secara menyeluruh.

Pemerintah pun telah menargetkan produksi 13 juta kendaraan listrik dalam beberapa tahun ke depan. Target besar ini tentu membutuhkan pasokan nikel berkelanjutan, terutama limonit yang menjadi bahan utama dalam pembuatan baterai. 

Melalui teknologi HPAL, bijih limonit yang sebelumnya dinilai kurang ekonomis kini bisa diolah menjadi bahan baku bernilai tinggi.

Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan sekitar 59 ribu ton nikel limonit yang pengolahannya hanya dapat dilakukan melalui HPAL. Ini menjadi penegasan bahwa teknologi tersebut tidak hanya sebuah pilihan, tetapi juga kebutuhan strategis untuk mendorong industri kendaraan listrik nasional.

Kebutuhan Material Baterai Hampir Seluruhnya Dipenuhi Domestik

Kebutuhan bahan baku baterai mobil listrik dapat dipenuhi hampir sepenuhnya di dalam negeri. Berdasarkan perhitungan, setiap 1 kilowatt hour (KWh) baterai membutuhkan 0,7 kilogram nikel limonit, 0,096 kilogram mangan, dan 0,096 kilogram kobalt. Dari kebutuhan tersebut, 93 persen bisa dipasok dari sumber daya lokal.

Hanya satu komponen yang masih harus diimpor, yakni lithium, yang porsinya sekitar 7 persen. Artinya, Indonesia telah memiliki struktur material yang relatif lengkap untuk menjadi produsen baterai kendaraan listrik di tingkat global.

Keunggulan ini semakin memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain penting dalam rantai nilai industri EV. Dengan memanfaatkan teknologi HPAL, pemerintah berupaya memastikan bahwa transformasi industri nikel tidak hanya menguntungkan sektor hulu, tetapi juga mendorong pertumbuhan sektor hilir yang lebih luas.

Penguatan Rantai Pasok dan Teknologi Daur Ulang

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin, Setia Diarta, menyoroti bahwa pengembangan industri nikel tidak boleh hanya berhenti pada produksi bahan mentah. Ia menegaskan perlunya memperkuat seluruh rantai pasok agar Indonesia tidak sekadar menjadi pemasok bahan baku.

Menurutnya, pemerintah ingin memastikan bahwa proses hilirisasi nikel juga mencakup pengembangan teknologi daur ulang baterai. "Dengan begitu, industri kendaraan listrik nasional bisa lebih mandiri dan kompetitif di pasar global," ujarnya.

Teknologi daur ulang ini penting karena baterai memiliki masa pakai yang terbatas. Dengan mengolah kembali materialnya, Indonesia tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan industri dalam negeri, tetapi juga mengurangi ketergantungan impor di masa mendatang.

Kemenperin optimistis bahwa dalam dua tahun ke depan, Indonesia sudah dapat menghasilkan baterai kendaraan listrik secara lebih mandiri. Upaya ini juga akan memperkuat struktur industri manufaktur dalam negeri sekaligus mendorong investasi baru di sektor teknologi energi.

HPAL: Teknologi yang Lebih Efisien dan Lebih Bersih

Selain meningkatkan nilai tambah, teknologi HPAL diklaim lebih ramah lingkungan dibanding metode tradisional. Proses pengolahannya mampu menekan emisi dan memaksimalkan pemanfaatan bijih limonit yang selama ini kurang termanfaatkan.

Dalam konteks global yang semakin menekan industri ekstraksi untuk beralih ke metode produksi yang lebih bersih, penerapan HPAL menempatkan Indonesia pada jalur yang tepat. Teknologi ini sejalan dengan transisi energi dunia dan meningkatnya permintaan kendaraan listrik di berbagai negara.

Industri nikel Indonesia pun mulai bergerak mengikuti perkembangan tersebut. Dengan dukungan infrastruktur, regulasi, dan cadangan besar, peluang Indonesia menjadi pemain kunci dalam rantai pasok baterai dunia semakin terbuka.

Pemerintah menegaskan bahwa transformasi industri ini tidak hanya mengejar nilai ekonomi, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan perbaikan standar produksi. Dengan demikian, hilirisasi nikel dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi industri nasional.

Terkini