JAKARTA - Di tengah upaya pelaku industri furnitur mempertahankan kinerja produksi, rencana pemerintah untuk memangkas kuota penjualan domestik bagi pabrik yang berada di kawasan berikat mulai menimbulkan kekhawatiran.
Kebijakan yang dinilai akan mengubah struktur penjualan secara signifikan itu berpotensi membuat banyak perusahaan mebel kehilangan ruang fleksibilitas untuk menjaga arus produksi, terutama ketika pasar ekspor masih belum pulih.
Rencana pemerintah tersebut tertuju pada pemotongan porsi penjualan ke dalam negeri atau local content quota dari sebelumnya 50% menjadi hanya 25%. Pembatasan itu dikhawatirkan mengganggu stabilitas operasional sejumlah perusahaan yang selama ini mengandalkan penjualan domestik sebagai penopang ketika ekspor lesu.
Regulasi Memberi Ruang 50%, Pemerintah Ingin Turunkan Jadi 25%
Selama ini, payung hukum utama yang mengatur mekanisme kawasan berikat adalah PMK No. 131/2018. Regulasi tersebut membuka kesempatan bagi pelaku industri untuk menjual produk ke pasar dalam negeri dengan porsi hingga 50% dari total akumulasi ekspor dan penjualan ke Kawasan Berikat atau KEK lain pada tahun sebelumnya.
Namun, Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur mengungkapkan rencana pemangkasan kuota domestik sedang dikaji pemerintah.
Meski tujuan kebijakan tersebut dinilai dapat mengembalikan esensi kawasan berikat sebagai fasilitas yang sepenuhnya berorientasi ekspor, ia menilai situasi pasar global saat ini tidak ideal untuk melakukan pengetatan secara drastis.
Sobur menekankan bahwa pasar ekspor furnitur dan kerajinan masih menunjukkan perlambatan. “Tidak semua perusahaan di kawasan berikat siap mengalihkan 75% produksinya ke ekspor dalam waktu singkat,” kata Sobur.
Ekspor Belum Pulih, Ketergantungan Tinggi pada Pasar AS
Data Himki menunjukkan bahwa nilai ekspor furnitur dan kerajinan Indonesia tahun 2023 berada di kisaran US$2,46 miliar, kemudian naik sedikit menjadi US$2,59 miliar pada 2024. Meski ada peningkatan, performa tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan 2021, dengan penurunan mencapai 20%–30% tergantung subsektornya.
Kinerja ekspor yang belum kembali ke level normal itu diperparah oleh tingginya ketergantungan Indonesia pada pasar Amerika Serikat.
Saat ini sekitar 53% ekspor furnitur dan kerajinan Indonesia ditujukan ke AS, disusul Jepang serta beberapa negara Eropa. Kondisi tersebut membuat industri sangat rentan terhadap gejolak permintaan, gangguan tarif, maupun kebijakan non-tarif yang berlaku di negara-negara tujuan.
Artinya, ketika pasar utama tersebut melemah, pabrik di dalam negeri sangat membutuhkan penjualan domestik untuk mempertahankan utilisasi mesin dan tenaga kerja. Tanpa ruang domestik yang memadai, pabrik berpotensi menghadapi tekanan produksi yang lebih besar.
Struktur Bisnis Hybrid Bikin Penyesuaian Tidak Mudah
Menurut Sobur, banyak perusahaan anggota Himki di kawasan berikat memiliki model bisnis hybrid. Sebagian besar output dialokasikan untuk ekspor, namun pasar domestik tetap menjadi penopang penting.
Permintaan untuk proyek hotel, apartemen, retail modern, hingga government procurement menjadi salah satu strategi untuk menutup fluktuasi permintaan dari luar negeri.
“Kami mendukung penguatan orientasi ekspor Kawasan Berikat sebagai prinsip, tetapi meminta kebijakan yang sektoral dan bertahap, bukan pemotongan seragam dari 50% ke 25% dalam satu langkah untuk semua sektor,” jelasnya.
Terlebih lagi, bagi industri furnitur dan kerajinan yang padat karya, penurunan pesanan ekspor bisa berdampak panjang. Jika pemotongan kuota dilakukan tiba-tiba, utilisasi pabrik bisa menurun tajam hingga memicu PHK, baik di tingkat pabrik besar maupun di rantai pemasok.
Sobur menilai tidak realistis apabila semua pabrik furnitur di kawasan berikat diasumsikan mampu mengekspor 100% produksinya pada kondisi pasar saat ini. Pasalnya, kapasitas pabrik, kontrak dagang, serta akses pasar ekspor tiap perusahaan sangat bervariasi.
Ancaman ke UMKM Pemasok dan Risiko PHK
Permasalahan tidak berhenti pada industri utama saja. Banyak perusahaan furnitur di kawasan berikat yang menggandeng UMKM kayu, metal, dan kerajinan sebagai pemasok bahan baku maupun komponen. Seluruh UMKM tersebut berada di luar kawasan berikat sehingga tidak menikmati fasilitas kepabeanan atau insentif lainnya.
“Bila produksi di KB direm karena kuota domestik terlalu kecil, UMKM pemasok bahan dan komponen ikut terpukul, padahal mereka tidak menikmati fasilitas kepabeanan apa pun,” pungkasnya.
Kondisi tersebut berpotensi menciptakan domino efek. Penurunan produksi di kawasan berikat akan langsung menekan order kepada UMKM, yang selama ini mengandalkan pasokan rutin dari pabrik besar.
Ketika pesanan menurun, daya serap tenaga kerja ikut terganggu, membuka risiko gelombang PHK, terutama di sektor padat karya yang jumlah pekerjanya besar.
Pada akhirnya, Sobur menilai bahwa pembatasan yang terlalu ketat tidak sejalan dengan target pemerintah dalam menciptakan lebih banyak lapangan kerja di sektor pengolahan.
Ia menegaskan bahwa pelaku industri bukan menolak pengetatan, tetapi meminta kebijakan yang mempertimbangkan kondisi tiap subsektor dan diberlakukan secara bertahap, agar perusahaan dapat menyesuaikan diri tanpa harus mengorbankan tenaga kerja maupun keberlanjutan usaha.