JAKARTA - Upaya negara-negara Asia untuk mempercepat transformasi energi kini mendapat perhatian lebih besar, terutama karena kawasan ini menghadapi tantangan berat dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan listrik, keberlanjutan lingkungan, dan pertumbuhan industrinya.
Dalam proses tersebut, panas bumi kembali disorot sebagai energi yang mampu menjembatani peralihan dari fosil menuju sumber bersih.
Pandangan ini diperkuat oleh PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), yang menegaskan bahwa panas bumi memiliki posisi fundamental bagi masa depan ketahanan energi di Asia. Dengan cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia, Indonesia memegang peran strategis dalam mewujudkan transisi energi yang stabil, aman, dan terjangkau.
Panas Bumi sebagai Pondasi Ketahanan Energi Asia
Pada forum Asia New Vision Forum (ANVF) 2025 di Singapura, Direktur Keuangan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, Yurizki Rio, menyampaikan pentingnya Asia menemukan titik keseimbangan baru antara energi fosil dan energi terbarukan.
Menurutnya, panas bumi bukan hanya relevan bagi Indonesia, tetapi juga menjadi kunci bagi negara-negara di kawasan yang tengah menghadapi lonjakan permintaan listrik.
“Hari ini, Asia tidak hanya berbicara soal dekarbonisasi, tetapi juga bagaimana menyeimbangkan kembali bauran energi. Energi fosil masih menjadi tulang punggung listrik di banyak negara untuk menjaga ketahanan, dengan porsi sekitar 80% dari kebutuhan energi Asia.
Namun, di saat bersamaan, permintaan listrik di kawasan ini terus melonjak,” ujar Yurizki, dikutip Selasa.
Ia menambahkan bahwa Asia Tenggara perlu melipatgandakan investasi energi bersih hingga lima kali lipat menjadi sekitar US$190 miliar per tahun pada 2035. Kebutuhan modal tersebut menunjukkan betapa besarnya dorongan transformasi energi di kawasan ini.
Indonesia menjadi negara yang memiliki potensi panas bumi terbesar, dengan cadangan sekitar 24 gigawatt (GW) atau setara 40% dari total potensi global. Hal ini menempatkan panas bumi sebagai salah satu kekuatan utama dalam bauran energi bersih di masa depan.
Jawaban Panas Bumi terhadap Tantangan Trilema Energi
Yurizki menjelaskan bahwa transisi energi tidak hanya berbicara soal peningkatan kapasitas, tetapi juga mempertahankan stabilitas pasokan dan daya saing industri. Dalam konteks tersebut, panas bumi menonjol karena sifatnya yang andal, bersih, dan tersedia sepanjang waktu.
Panas bumi tidak bergantung pada kondisi cuaca seperti angin dan matahari, sehingga pasokan listrik dapat lebih terjaga. Hal ini membuat banyak negara bisa mengurangi ketergantungan pada batu bara secara bertahap, tanpa mengorbankan stabilitas sistem kelistrikan.
Untuk menjawab tantangan trilema energi — keterjangkauan, keandalan, dan keberlanjutan — panas bumi dinilai memenuhi ketiga aspek tersebut. “Jika salah satu terabaikan, maka akan menimbulkan instabilitas, setidaknya di Indonesia. Panas bumi secara alami menjawab ketiga aspek tersebut,” jelasnya.
Keunggulan ini menjadikan panas bumi sebagai solusi yang realistis bagi negara-negara Asia yang ingin mempercepat transformasi energi, namun tetap menjaga fondasi ketahanan listrik.
Pendanaan sebagai Kunci Percepatan Proyek Panas Bumi
Walaupun memiliki manfaat besar, pengembangan panas bumi membutuhkan investasi besar serta dukungan pembiayaan yang konsisten. Proyek panas bumi memiliki risiko eksplorasi yang tinggi, biaya awal besar, dan proses pengembangan yang panjang.
Menurut International Energy Agency (IEA), Asia-Pasifik harus melipatgandakan investasi energi bersih hingga tiga kali lipat menjadi lebih dari US$2,3 triliun per tahun pada 2030. Angka tersebut menggambarkan besarnya tantangan pembiayaan yang dihadapi negara-negara Asia.
Yurizki mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan sekitar US$20–25 miliar setiap tahun untuk sektor energi, terutama panas bumi, surya, dan hidro. Khusus panas bumi, biaya pengeboran satu sumur dapat mencapai US$5–6 juta. “Risiko eksplorasi membuat banyak investor ragu untuk terlibat,” ujarnya.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, PGE memastikan seluruh proyeknya tetap bankable. Perusahaan juga aktif mendorong kolaborasi internasional melalui pendanaan, teknologi, serta pengembangan proyek bersama demi memperkuat ekosistem energi bersih di Asia.
Rantai Manfaat Panas Bumi bagi Ekonomi dan Lingkungan
Indonesia sering disebut sebagai ‘Saudi Arabia of geothermal’ karena memiliki sumber daya panas bumi terbesar di dunia. Namun pemanfaatannya baru mencapai sekitar 2,6 GW dari total potensi 24 GW. Padahal, dampak ekonomi dari investasi panas bumi sangat signifikan.
Setiap US$1 miliar investasi panas bumi tidak hanya menghasilkan listrik bersih, tetapi juga mendorong industri pengeboran, manufaktur, rekayasa, hingga ekonomi lokal. Multiplier effect-nya bahkan bisa mencapai 1,25 kali, menjadikannya salah satu sektor energi dengan dampak ekonomi terbesar.
Yurizki menyebut bahwa energi terbarukan, termasuk panas bumi, telah menciptakan jutaan lapangan kerja baru, menarik modal global, serta membangun industri domestik yang lebih kompetitif. Selain itu, panas bumi berperan penting dalam membersihkan jaringan listrik nasional dan memperkuat teknologi lokal.
Selain pembangkit listrik, PGE mengembangkan konsep beyond electricity melalui pemanfaatan panas bumi untuk industri hijau. Salah satu yang terbaru adalah peluncuran Pilot Project Green Hydrogen Ulubelu pada 9 September lalu. Proyek ini menjadi langkah awal pembangunan ekosistem hidrogen hijau dari hulu hingga hilir.
Dengan pendekatan tersebut, PGE berharap panas bumi tidak hanya menjadi sumber daya pembangkit energi, tetapi juga menjadi fondasi industri rendah karbon yang mendukung pertumbuhan berkelanjutan di Indonesia dan Asia.